Hutan itu sunyi, seakan tengah menahan napasnya. Dari balik pepohonan lebat, air terjun memecah keheningan dengan suara deras yang terus mengalir---abadi. Namun, tak ada yang benar-benar abadi. Sundaya tahu itu. Di sinilah ia sekarang, duduk di atas batu datar dengan kaki bersila. Tangan kanannya menggenggam sebuah kujang tua, bilahnya berkarat namun tetap tajam. Kujang itu diwariskan dari ayahnya---sebuah pusaka keluarga yang diyakini punya roh sendiri.
Tapi untuk apa?
Tatapan Sundaya kosong. Ia menatap ujung bilah kujang itu seakan mencari jawaban di balik kilaunya yang redup. "Hanya besi tua..." gumamnya, hampir berbisik. Namun, saat kalimat itu meluncur, udara di sekelilingnya seolah bergetar. Hutan yang tadinya diam mendadak terasa hidup. Daun-daun berdesir, angin bertiup dari arah yang tak ia pahami.
"Jangan kau meremehkan warisan itu, Sundaya..."
Sundaya tersentak. Suara itu datang dari mana? Dengan cepat, ia menoleh ke kiri dan kanan, namun tak ada siapa-siapa. Tubuhnya menegang.
Kemudian ia melihatnya. Seekor harimau putih.
Bulu harimau itu berkilauan bak kabut yang memantulkan cahaya bulan. Matanya, dua bola emas yang bersinar lembut namun tajam. Sang harimau duduk anggun di antara semak-semak, seolah sudah lama menunggunya.
Sundaya menelan ludah. "Kau... siapa?" tanyanya terbata. Tangannya refleks menggenggam kujang lebih erat.
Sang harimau memiringkan kepalanya, suaranya bergetar rendah seperti bisikan leluhur, "Aku adalah penjaga tempat ini. Roh yang sudah ada sejak tanah ini diberkati dan dihunikan. Kami memandangmu, Sundaya. Melihat betapa kau mulai meragukan warisan leluhurmu."
"Apa maksudmu?" Sundaya berusaha menegaskan suaranya meski dadanya bergemuruh. "Aku hanya... merasa semua ini sia-sia. Lihat saja sekeliling! Pohon-pohon ditebang, sungai-sungai keruh, hewan-hewan kehilangan tempatnya. Apa yang bisa kujang ini lakukan? Itu hanya besi tua!"
Kata-kata itu menusuk udara, tapi sang harimau tidak bergerak. Ia menatap Sundaya dalam-dalam, seolah membaca keresahan di hatinya.