Beberapa hari yang lalu, Presiden mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan banyak orang. Beliau menyatakan bahwa teknologi kecerdasan buatan (AI) dapat mengancam hingga 85 juta pekerjaan di seluruh dunia pada tahun 2025. Pernyataan ini dengan cepat menjadi topik pembicaraan hangat di berbagai kalangan.
Namun, mari kita berhenti sejenak dan berpikir. Apakah benar AI akan mengambil alih pekerjaan kita? Seberapa besar ancaman ini sebenarnya? Dan jika memang benar, apa yang harus kita lakukan sebagai pekerja yang menghadapi ancaman dari gelombang teknologi ini?
Perlu diingat bahwa AI bukanlah teknologi yang tiba-tiba muncul. Kecerdasan buatan telah berkembang selama puluhan tahun, meskipun baru beberapa tahun terakhir ini menjadi perbincangan utama. Kita sudah melihat bentuk AI dalam chatbot yang semakin cerdas, mobil tanpa pengemudi, serta algoritma yang mampu memprediksi dan menganalisis perilaku manusia. Bahkan tanpa kita sadari, banyak dari kita sudah berinteraksi dengan AI setiap hari---mulai dari memesan makanan online, menonton tayangan rekomendasi di layanan streaming, hingga menggunakan fitur pesan otomatis di aplikasi perpesanan.
AI hadir membawa janji besar: efisiensi, kecepatan, dan keakuratan yang tidak dapat ditandingi oleh manusia. Dengan kemampuannya memproses data dalam jumlah besar dan menganalisisnya secara cepat, AI telah menjadi "karyawan" yang tak pernah lelah dan tak meminta cuti. Di sinilah kekhawatiran muncul. Jika AI dapat melakukan banyak hal dengan lebih cepat dan akurat, apakah ini berarti pekerjaan yang selama ini dilakukan oleh manusia akan beralih ke tangan mesin?
Menurut data yang disampaikan oleh Presiden, jawabannya mungkin iya. Tren global menunjukkan bahwa beberapa industri, khususnya di sektor manufaktur dan administrasi, sudah mulai menggantikan tenaga kerja manusia dengan robot atau sistem AI. Mesin-mesin ini mampu bekerja sepanjang waktu, 24 jam sehari, tanpa jeda. Dari perspektif perusahaan, ini menjadi keuntungan besar: mereka tak perlu khawatir tentang lelah, absen, atau tuntutan kenaikan gaji.
Namun, tentu ini menjadi kabar yang mengkhawatirkan bagi pekerja. Bayangkan seorang operator pabrik yang telah bekerja selama 20 tahun mendapati bahwa posisinya digantikan oleh robot. Atau seorang pegawai administrasi yang terbiasa mengelola berbagai dokumen perusahaan, tiba-tiba tersingkir oleh sistem otomatis yang bisa menyelesaikan pekerjaannya dalam hitungan detik. Banyak dari kita mungkin berpikir, "tidak mungkin itu terjadi di bidang saya," tapi perubahan ini bisa datang lebih cepat dari yang kita bayangkan.
Laporan dari Forum Ekonomi Dunia memprediksi bahwa 85 juta pekerjaan bisa hilang akibat penerapan AI pada tahun 2025. Namun, di balik ancaman ini, ada juga peluang besar yang sering terlupakan. Meski 85 juta pekerjaan mungkin hilang, diperkirakan 97 juta pekerjaan baru akan tercipta berkat AI. Ini berarti tidak semua pekerjaan akan lenyap. Banyak pekerjaan baru akan muncul, terutama di sektor teknologi, data, dan inovasi. Tantangannya adalah bagaimana kita mempersiapkan diri dengan keterampilan yang sesuai untuk peran-peran baru ini.
AI mungkin akan mengambil alih pekerjaan yang bersifat rutin dan repetitif, namun pekerjaan yang memerlukan kreativitas, empati, dan kecerdasan emosional akan tetap menjadi ranah manusia. Oleh karena itu, pertanyaannya adalah, bagaimana kita bisa mengantisipasi perubahan ini?
Pertama, kita perlu meningkatkan keterampilan yang relevan dengan perkembangan teknologi. Pendidikan dan pelatihan ulang (reskilling) sangat penting untuk memastikan bahwa kita tetap kompetitif di era AI. Perusahaan dan pemerintah juga memiliki peran penting dalam menyediakan program pelatihan yang dapat membantu pekerja mempersiapkan diri menghadapi tantangan baru ini.
Kedua, kita harus mengubah cara pandang terhadap pekerjaan. Jika dulu produktivitas diukur dari kerja fisik, di masa depan, pekerjaan yang melibatkan kreativitas, inovasi, dan kemampuan berpikir kritis akan menjadi lebih berharga. Inilah pekerjaan yang tidak mudah digantikan oleh mesin, setidaknya dalam waktu dekat. Oleh karena itu, penting untuk terus mengasah keterampilan-keterampilan ini.
Ketiga, fleksibilitas akan menjadi kunci. Di era AI, kemampuan untuk beradaptasi dengan cepat dan berpindah dari satu peran ke peran lainnya akan menjadi keunggulan kompetitif. Kita harus siap menghadapi dinamika dunia kerja yang terus berubah.