Setiap pagi, kita bisa menyaksikan pemandangan yang sudah menjadi rutinitas di jalanan: anak-anak sekolah berseragam lengkap mengendarai sepeda motor menuju sekolah. Bukan sekali dua kali saya melihatnya, bahkan Anda mungkin sering juga menyaksikannya. Sebagian orang melihat ini sebagai hal yang wajar, bahkan sudah biasa, tetapi tidak sedikit pula yang merasa risau. Anak-anak yang jelas-jelas belum cukup umur dengan santainya berkendara, seolah aturan lalu lintas hanyalah formalitas yang bisa diabaikan.
Keresahan ini bukan tanpa alasan. Kita tahu bahwa usia minimal untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM) di Indonesia adalah 17 tahun. Tapi kenyataannya, banyak anak-anak di jalan raya yang usianya jelas-jelas belum mencapai itu. Bahkan, sebagian dari mereka belum menginjak usia 16 tahun, tetapi sudah mengendarai sepeda motor, melintasi jalan raya yang penuh dengan risiko.
Yang lebih mencemaskan, banyak dari anak-anak ini tampaknya belum memahami aturan berlalu lintas dengan baik. Saya sering melihat mereka menyalip sembarangan, tidak memakai helm, atau membonceng teman tanpa memperhatikan keselamatan. Sepeda motor seolah menjadi mainan yang mereka kendalikan sesuka hati. Parahnya, banyak orang tua justru tampak merelakan ini terjadi, seakan-akan risiko keselamatan anak-anak mereka adalah harga yang sepadan demi alasan "transportasi hemat."
Memang, di tengah kesulitan ekonomi yang kian menekan, kendaraan roda dua menjadi solusi praktis bagi banyak keluarga. Tidak dapat dipungkiri, sepeda motor jauh lebih ekonomis dibandingkan transportasi umum atau kendaraan pribadi lainnya. Ketika ongkos ojek, angkutan kota, atau bahan bakar mobil semakin mahal, memberikan motor kepada anak untuk pergi ke sekolah tampaknya seperti jalan keluar yang mudah. Satu motor bisa digunakan dua anak sekaligus, dan orang tua tidak perlu lagi repot antar-jemput.
Namun, mari kita pikirkan kembali: apakah benar penghematan ini sepadan dengan risiko yang dihadapi? Data dari Integrated Road Safety Management System (IRSMS) Korlantas Polri menunjukkan bahwa pada tahun 2023, kecelakaan lalu lintas yang melibatkan pengendara remaja menyumbang 31,8% dari total kecelakaan. Angka ini meningkat pada tahun 2024, menjadi 32,4%. Ini bukan sekadar angka di atas kertas, tetapi menggambarkan ribuan kecelakaan yang melibatkan remaja di bawah umur, banyak di antaranya melibatkan sepeda motor. Jelas, ini adalah bahaya nyata yang tak bisa diabaikan.
Sering kali kita mendengar alasan orang tua yang membiarkan anak-anak mereka mengendarai motor. "Anak saya sudah mahir bawa motor, kok. Sudah biasa sejak kecil." Pernyataan ini sering terdengar dan tampaknya memberikan rasa aman palsu. Orang tua mungkin berpikir bahwa pengalaman anak mereka dalam berkendara sudah cukup untuk menghadapi lalu lintas, padahal mengendarai motor di gang kecil atau lingkungan perumahan sangat berbeda dengan menghadapi arus lalu lintas di jalan raya yang padat dan penuh dengan berbagai potensi bahaya.
Selain keterampilan teknis, yang sering kali diabaikan adalah kedewasaan mental dan emosional. Mengapa SIM diberikan pada usia 17 tahun? Bukan hanya soal kemampuan mengemudi, tetapi juga kematangan berpikir dan bertanggung jawab. Anak-anak usia 13-15 tahun, meski sudah terbiasa mengendarai motor, sering kali tidak siap secara mental untuk membuat keputusan-keputusan krusial di jalan. Ketika dihadapkan pada situasi mendesak---seperti pengendara lain yang tiba-tiba berhenti mendadak atau pejalan kaki yang menyeberang secara tiba-tiba---mereka cenderung panik atau mengambil keputusan yang salah. Ini adalah risiko besar yang tidak bisa dianggap remeh.
Lalu, bagaimana dengan tanggung jawab orang tua? Di sinilah seharusnya orang tua menjadi pihak yang paling berperan dalam memastikan keselamatan anak-anak mereka. Ironisnya, justru banyak orang tua yang mendorong kebiasaan berbahaya ini dengan alasan praktis. Ada yang merasa terlalu repot mengantar-jemput, ada pula yang merasa transportasi umum terlalu mahal atau tidak nyaman. Tetapi, pada akhirnya, keputusan untuk memberikan motor kepada anak yang belum cukup umur bisa membawa konsekuensi yang jauh lebih besar daripada sekadar masalah efisiensi.
Menjadi orang tua di zaman modern memang penuh tantangan. Ada tekanan ekonomi, tuntutan pekerjaan, serta harapan agar anak-anak bisa mandiri sejak dini. Namun, apakah alasan-alasan ini cukup kuat untuk mengorbankan keselamatan anak-anak? Mengorbankan keselamatan demi menghemat ongkos adalah keputusan yang sangat berisiko. Ketika kita memberikan kunci motor kepada anak-anak yang belum cukup umur, kita pada dasarnya sedang mempertaruhkan nasib mereka di jalan raya.
Inilah sebabnya mengapa pendidikan lalu lintas harus dimulai sejak dini. Anak-anak perlu diajarkan bahwa berkendara bukan sekadar kemudahan transportasi, melainkan tanggung jawab besar. Mereka harus memahami risiko di jalan, dan mengapa aturan-aturan, seperti usia minimal untuk berkendara, ada bukan untuk membatasi, tetapi untuk melindungi. Orang tua juga perlu mendapatkan edukasi bahwa solusi hemat tidak berarti harus mengorbankan keselamatan anak-anak mereka.
Realitas di jalanan memang keras. Setiap hari, anak-anak di bawah umur terus melintas dengan motor, sering kali dengan restu orang tua. Namun, alangkah lebih baik jika kita sebagai masyarakat mulai sadar akan bahaya ini dan bersama-sama mencari solusi untuk mengubah kebiasaan tersebut. Pada akhirnya, keselamatan anak-anak kita jauh lebih berharga daripada penghematan ongkos atau efisiensi transportasi.