Ada dua jenis tulisan yang mungkin sudah sering kita temui: menulis untuk orang lain, dan menulis untuk diri sendiri. Keduanya memiliki kekuatan penyembuhan yang berbeda.
Menulis untuk orang lain sering kali kita temui dalam bentuk blog, artikel, atau bahkan buku. Ketika kita berbagi cerita atau pengalaman dengan orang lain, ada rasa kepuasan tersendiri. Kita merasa bahwa cerita kita bisa membantu orang lain yang mungkin sedang mengalami hal serupa. Ini adalah bentuk empati yang tersalurkan melalui tulisan. Selain itu, berbagi cerita juga bisa membuat kita merasa lebih ringan, karena kita tahu bahwa kita tidak sendirian.
Namun, menulis untuk diri sendiri memiliki kekuatan yang lebih personal. Ketika kita menulis tanpa berpikir tentang siapa yang akan membacanya, kita bisa lebih jujur dengan diri sendiri. Tidak ada sensor, tidak ada batasan. Kita bebas menulis apa pun yang kita rasakan, bahkan hal-hal yang mungkin tidak pernah kita ungkapkan kepada orang lain. Inilah yang membuat menulis begitu kuat sebagai alat healing. Kita diberi kebebasan untuk benar-benar mendengarkan suara hati kita sendiri.
Menulis adalah perjalanan. Di dalamnya, ada proses refleksi, pelepasan, dan penyembuhan. Melalui kata-kata, kita bisa meredakan emosi yang menyesakkan, memahami diri dengan lebih baik, dan pada akhirnya, menemukan kedamaian. Tentu, menulis bukan solusi instan untuk semua masalah. Namun, sebagai langkah kecil, menulis bisa menjadi pintu gerbang menuju healing yang lebih dalam.
Di tengah dunia yang serba cepat ini, di mana kita sering kali tak punya waktu untuk berhenti sejenak dan mendengar diri sendiri, menulis adalah cara kita untuk melambat, merenung, dan memberi ruang bagi jiwa yang lelah. Karena pada akhirnya, menulis bukan hanya soal merangkai kata, tetapi juga soal memberi kesempatan bagi diri kita sendiri untuk sembuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H