Adil baru saja dikalahkan teman sekelasnya dengan curang di final lomba silek. Tak lama kemudian guru silek mereka Mak Rustam, meninggalkan mereka untuk merantau. Di tengah ketidakpastian ini, Adil dan dua orang temannya Kurip dan Dayat berusaha mencari guru silek yg baru untuk menghadapi kejuaraan silek berikutnya. Di tengah keputusasaan mereka untuk menemukan guru silek, Rani, teman sekelas mereka yg naksir Adil membawa mereka pada Gaek Johar, seorang mantan juara silek yg baru saja memutuskan tinggal di Padang di masa pensiunnya. Gaek Johar bersedia mengajar mereka dengan syarat mereka harus mengembalikan nilai2 tradisi silek yaitu menggabungkan silek dengan sholat dan shalawat. Apakah Adil, Kurip dan Dayat bersedia mengikuti syarat dari Gaek Johar?
Menonton film Surau dan Silek (SS) seperti melihat kearifan lokal masyarakat Sumatra Barat. Sepanjang film, penonton disajikan dengan bahasa Padang yang menjadi main language dalam film ini. Jangan takut, ada subtitle Bahasa Indonesia bagi yg tdk bisa berbahasa Padang. Ini adalah film modern pertama yg pemainnya memakai bahasa asli latar belakang ceritanya.
Ceritanya pun sederhana tapi tidak dibuat2. Alur cerita mengalir lancar dan membuat penonton mereka-reka petulangan apa lagi yg akan dilakukan trio sahabat itu. Walaupun ada yg kedodoran tapi tidak begitu kentara dan tertutupi dengan alur cerita yg lain. *
Akting para pemainnya pun diluar dugaan. Kecuali Gilang Dirga dan Ricky Komo yg sekelebatan main, serta Dewi Irawan yg menjadi pelengkap cerita, semuanya adalah bintang pemula. Tetapi yang mengejutkan akting mereka berjalan dengan lancar dan tidak kaku. Tokoh Adil yg sekilas mirip dengan Iqbal Dhiyafakri, bermain dengan baik. Tokoh2 sempalan seperti Ibu Adil, Kakek Rani, Ibu Mak Rustam, dll juga bermain dengan baik tanpa kekakuan. Sutradara dengan cerdik mengarahkan para pemain pemula ini mirip dengan karakter asli mereka.
Sinematografi yg ditampilkan pun sangat memanjakan mata. Keindahan alam Sumatra Barat ditampilkan dengan sangat indah.
Icon Sumatra Barat pun seperti Jam Gadang dan Ngarai Sihanok ditampilkan untuk memperkuat nilai lokal. Sinematografer juga sempat menangkap gambar Padang Mangeteh, sebuah lanskap indah yg mndapat julukan New Zeland nya Indonesia. Dipadu dengan musik talempong, semakin memperindah film ini serta membuat para orang padang dirantauan ingin pulang kampung.
Secara keseluruhan film ini menonjolkan kearifan lokal Sumatra Barat yg kental dengan nilai2 Islamnya. Bukan saja diperlukan mempertahankan tradisi seperti silek, namun bagaimana tradisi itu bisa berdampingan dengan nilai2 keislaman yaitu sholat dan shalawat. Jadilah, jika ingin bisa silek maka pertajam juga sholat dan shalawatnya. Nilai moral dari film ini pun bagus, bagaimana silat bukan cuma buat gagah-gagahan, tapi bagaimana silat bisa membuat kita lebih dekat kepada tuhan dan menjadi rendah hati.
Tapi sayangnya, film bagus ini hanya mendapatkan sedikit jatah dari XXI. Nyaris di setiap daerah hanya ada disatu bioskop. Padahal dibandingkan denga film Indonesia lainnya yg sedang diputar, film SS ini lebih kaya akan moral dan bukan film picisan. Terdapat ada nama Garin Nugroho di dalam pembuatan film ini. Kedepannya, film dengan sarat nilai kearifan lokal harus didukung penuh oleh pemerintah. Karena film seperti ini yg akan membangkingkan semangat kebangsaan pada generasi muda.
Overall score:
film (4/5),
Cerita (3.5/5),
Akting (4/5),
Sinematografi (4.5/5)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H