Pengalaman masing-masing orang agar dapat menunaikan ibadah haji tentu berbeda-beda. Tidak cukup hanya niat, tapi dibutuhkan usaha yang sungguh-sungguh disamping tentu saja panggilan dari Yang Maha Kuasa. Begitupun dengan yang saya alami bersama suami. Keinginan mengunjungi tanah suci menunaikan rukun Islam yang kelima ini terasa tak terbendung.
Biaya pendaftaran tahun 2008 sebesar dua puluh juta rupiah per orang. Uang dari mana sebanyak itu ya, begitu pikir kami saat itu. Dana talangan Bank belum ada. Mau menggadaikan sertifikat rumah juga tidak mungkin, karena cicilan rumah belum selesai. Berhutang kami tidak berani. Harta yang kami miliki adalah mobil satu-satunya yang belum genap setahun kami beli. Mobil bekas keluaran tahun 1996, berwarna hijau tua. Untuk menjual mobil ini kami harus memberi pengertian kepada kedua anak kami karena selama ini mobil digunakan untuk mengantar mereka ke sekolah. Lama perjalanan dari rumah ke sekolah sekitar 30 menit , kalau dengan angkutan umum harus ganti angkot dua kali.
Walaupun mobil bekas, sudah tangan ketiga lagi, tapi kedua anak kami sangat menyukainya. “Mobilnya empuk”, kata mereka. Sayang saya tidak punya fotonya sehingga tidak bisa menampilkannya dalam tulisan ini. Saya masih ingat hari terakhir anak-anak diantar sekolah dengan mobil itu, mereka tidak bisa menyembunyikan kesedihannya.
Akhirnya kami menjual mobil seharga Rp. 60 juta, harga yang sama saat kami membelinya. Setelah uang didapat, kami langsung mengurus proses pendaftaran haji, saat itu bulan Juni 2008. Alhamdulillah, kami dapat antrian 3 tahun, berarti kami akan berangkat tahun 2011.
Allah memang Maha Kaya. Sesungguhnya manusia tidak perlu khawatir akan biaya yang sudah dikeluarkan, Allah akan menggantinya dari segala pintu dan segala arah. Hanya dalam waktu 7 bulan, tepatnya Januari tahun 2009 kami diberi rezeki sehingga kami punya mobil kembali. Kami diberi kemampuan membayar uang muka untuk membeli mobil baru, dan selanjutnya mencicil selama tiga tahun. Sejak awal kami niatkan membeli mobil ini sebagai sarana beribadah, untuk mendatangi majelis taklim, bersilaturahmi, membantu yang membutuhkan dan tentu saja untuk bekerja. Dan tak kalah penting anak-anak sudah bisa melupakan mobil lamanya.
Masa menunggu keberangkatan haji kami isi dengan berbagai persiapan. Karena kami hanya orang biasa yang bukan keluarga santri, maka kami mulai mendalami agama dengan mendatangi pengajian, mendengarkan berbagai ceramah agama dan membeli berbagai buku. Ada juga rezeki buku pemberian seorang kawan tentang sejarah Makkah dan Madinah. Kami juga berusaha menyempatkan diri bersilaturahmi dengan kerabat yang akan berangkat haji atau pun yang baru pulang haji. Demikian juga dengan memanjatkan doa yang tak putus-putusnya agar kami diberi kesehatan dan kesempatan.
Memasuki tahun 2011 kami makin fokus dalam mempersiapkan keberangkatan termasuk mempersiapkan kedua anak kami untuk bisa mandiri dan tetap saling menyayangi. Hal ini penting karena selama kami berhaji mereka hanya akan tinggal berdua. Si sulung baru menjadi mahasiswa dan adiknya kelas 2 SMA. Keluarga besar tinggal di kota lain, tidak mungkin merepotkan mereka karena mereka juga punya aktivitas sendiri. Kegiatan manasik haji merupakan hari yang selalu kami tunggu. Bertemu kawan-kawan baru di KBIH dan melafalkan kalimat talbiyah membuat hati saya haru seakan sudah berada di sana.
Kami bersyukur, limpahan rezeki pun terus kami terima sehingga kami bisa melunasi cicilan rumah. Dua bulan menjelang keberangkatan, sertifikat rumah sudah berhasil kami dapatkan padahal seharusnya baru lunas 2 tahun berikutnya.
Kami berangkat haji pada tanggal 27 Oktober 2011, kloter gelombang kedua kota Malang. Ketika berada di atas bis pemberangkatan haji baru saya meyakini bahwa saya dan suami benar-benar berangkat haji. Air mata sudah mengalir, seakan tak percaya. Selama 40 hari di sana kami dapat melaksanakan ibadah dalam keadaan sehat dan selamat. Kami kembali ke rumah tanggal 7 Desember 2011. Hal yang membuat kami lega dan terharu terjadi lagi. Tanggal 27 Desember 2011 merupakan pembayaran terakhir cicilan mobil kami. Saya teringat pada sms yang dikirim oleh sahabat saya 2 hari setelah pulang haji yang isinya “Qobilallahu khajjaka waghofaro dzanbaka waakhlafa nafaqotaka. Semoga Allah menerima hajimu, semoga Allah mengampuni dosa-dosamu dan semoga Allah mengganti biaya yang telah engkau keluarkan untuk haji (doa Rasulullah SAW kepada orang yang baru datang haji)”.
[caption id="attachment_285220" align="aligncenter" width="466" caption="dokumentasi pribadi"][/caption]
Maha Besar Allah yang terus melimpahkan rezeki kepada keluarga kami sehingga bulan Mei 2013 kami bisa kembali ke tanah suci dengan membawa kedua anak kami untuk beribadah umroh.
Pengalaman umroh ini sudah saya tulis pada http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/05/19/mengunjungi-jabal-magnet-di-madinah-561413.html
Menulis pengalaman ini bukan untuk pamer atau membanggakan sesuatu, hanya sharing bahwa Allah itu Maha Kaya dan Maha menepati janji.
Semoga bermanfaat :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H