Mohon tunggu...
Yass Arlina
Yass Arlina Mohon Tunggu... lainnya -

senang menulis, dan berharap tulisannya bermanfaat bagi siapa saja. Pembaca juga dapat mengunjunginya pada blog http://yassarlina.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Buku Kisah Buya Hamka

6 Juli 2013   13:31 Diperbarui: 4 April 2017   18:02 2373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Disela-sela kesibukan pekerjaan dan keluarga saya mengambil cuti pulang ke Padang, Sumatera Barat, minggu lalu untuk mengunjungi ibu tercinta yang sedang sakit.  Ini kepulangan saya setelah mudik lebaran tahun lalu. Ibu berusia 75 tahun dan penderita diabetes.

Berkat ijin Allah dan dirawat dengan penuh kasih sayang oleh kakak dan adik-adik yang tinggal di Padang, perlahan ibu berangsur pulih.  Hanya empat hari saya di Padang.  Pada saat saya akan kembali ke Surabaya, ibu berinisiatif sendiri ikut mengantar ke Bandara Internasional Minangkabau, seperti yang selalu ibu lakukan setiap saya pulang.  Namun kali ini ini ibu hanya duduk tinggal di dalam kendaraan. Membuat saya teramat sedih saat meningggalkan beliau.

Perjalanan Padang-Surabaya harus melalui transit di Jakarta.  Waktu tunggu di Jakarta sekitar 4 jam. Cukup lama, saya pikir saya harus mencari bacaan yang menarik untuk menepis rasa rindu kepada ibu yang semakin mendera. Rasanya hari ini saya tidak sedang mood mengembara di dunia maya.

Saya masuk ke sebuah toko buku di bandara, walau saya tahu harga jual di bandara bukan harga biasa. Setelah agak lama mencari, akhirnya saya menemukan buku idaman. Buku tentang Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah).  Beberapa waktu belakangan ini saya memang sedang ingin “berburu” buku-buku Buya Hamka.  Buku ini baru selesai saya baca 2 hari berikutnya.

Buku berjudul “Ayah . . .” , karya Irfan Hamka, putera kelima Buya Hamka yang saat ini berusia 70 tahun. Diterbitkan oleh Republika Penerbit, 321 halaman, ISBN 978-602-8997-71-3, cetakan pertama Mei 2013.  Pengantar oleh Dr. Taufiq Ismail.  Buku ini berisi tentang Kisah Buya Hamka.  Tentang  masa muda, dewasa, menjadi ulama, sastrawan, politisi, kepala rumah tangga, sampai ajal menjemputnya.

Membaca buku ini seakan kita ikut larut dalam kisah perjuangan Buya Hamka yang mengharu biru.  Beberapa kali saya harus mengusap air mata. Sungguh, melalui buku ini saya semakin mengagumi beliau.  Beliau seorang ayah yang sangat penyayang, berwibawa dan bijaksana. Seorang suami yang sangat mencintai dan menghargai sang istri, seorang  pemimpin yang amanah, seorang yang sangat pemaaf, seorang yang tegas dalam menegakkan keimanan dan ketauhidan, seorang yang tidak tergiur harta dan jabatan, lebih memilih menjadi ulama dan sastrawan dari pada menjadi seorang pejabat tinggi negara.

Melalui buku ini kita juga dapat mengetahui bahwa belliau adalah seorang pendekar silat yang hebat di nagari Minang.  Ilmu silat beliau sangat bermanfaat pada saat Buya Hamka berhasil melumpuhkan sekelompok penjahat yang menyerang beliau di Cipanas. Banyak nasihat-nasihat Buya Hamka yang sangat bermanfaat bagi kita yang hidup di jaman sekarang yang menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginan.  Irfan Hamka juga sangat mengagumi ayahnya yang tidak pernah berpikiran negatif kepada orang lain bahkan memiliki keyakinan bahwa orang pasti dapat berubah menjadi baik.

Buya Hamka menunaikan ibadah haji pertama kali pada usia 19 tahun. Di nagari Minang masa itu, untuk mendapatkan kehormatan seseorang harus memiliki ilmu agama, telah berhaji, dan berstatus Wali Nagari. Keinginan menimba ilmu agama membuat Hamka muda merantau ke Pulau Jawa bahkan sampai ke kota suci Mekkah.

Buya Hamka yang namanya tidak bisa dipisahkan dari Masjid Al- Azhar di Jakarta dan sejumlah lembaga pendidikan Al-Azhar yang tersebar di seluruh Indonesia, merupakan teman sekelas dari ayah penyair besar Taufiq Ismail, yaitu A. Gaffar Ismail.  Mereka sekolah di Sumatera Thawalib, Parabek, Bukittinggi. Melalui kata pengantarnya, Taufiq Ismail menggambarkan bagaimana beliau memiliki kebesaran jiwa dan kelapangan dada sehingga Buya Hamka mampu memaafkan Pramoedya Ananta Toer.

Tidak hanya itu, beliau juga mampu memaafkan Presiden Soekarno yang sudah memenjarakannya selama 2 tahun 4 bulan dengan bersedia menjadi imam shalat jenazah memenuhi permintaan Presiden RI pertama itu di akhir hayatnya.  Beliau justru bersyukur pernah ditahan dan merasa semua itu anugerah dari Allah SWT karena di dalam penjara beliau dapat menyelesaikah Kitab Tafsir Al Quran 30 juz yang diberi nama Tafsir Al-Azhar.

Peristiwa menarik banyak terjadi saat beliau menunaikan ibadah haji yang kedua pada tahun 1968 bersama istri, Hj. Siti Raham Rasul, dan Irfan Hamka dengan menaiki kapal laut Mae Abeto. Mereka berangkat haji melalui hadiah dan kuota istimewa dari pemerintah yang diberikan oleh Pejabat Presiden waktu itu, Jenderal Soeharto. Disela-sela waktu itu beliau juga memenuhi undangan beberapa duta besar Republik Indonesia dari negara sekitar Jazirah Arab.  Menyimak perjalanan darat ribuan kilometer dari Bagdad ke Mekkah selama 3 hari 4 malam melewati gurun pasir sungguh suatu pengalaman spiritual yang menakjubkan.  Berbagai pengalaman di luar kemampuan logika manusia membuat Irfan Hamka semakin yakin bahwa ayahnya adalah seorang sufi.

Prof. Dr. Hamka adalah penerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar Mesir pada tahun 1959.  Beliau merupakan orang keempat Indonesia yang menerima gelar itu, sedangkan penerima pertama adalah ayah Buya Hamka sendiri yaitu Buya A. Karim Amrullah pada tahun 1926.

Buya Hamka wafat di usia 73  tahun pada tahun 1981, pada hari Jumat di bulan suci Ramadhan. Dimakamkan di TPU Tanah Kusir Jakarta. Kepergian beliau meninggalkan kesedihan yang dalam pada bangsa Indonesia, terlebih pada masyarakat Minang.  Seorang pencipta lagu pop Minang , Agus Taher, menciptakan sebuah syair berbahasa Minang  dengan judul “Selamat Jalan Buya”, yang dinyanyikan oleh biduan Minang bernama Zalmon.  Berikut sedikit petikannya :

Tagamang kampuang jo bangso

Ka ilangan umaik kasadonyo

Marapi jo Singgalang

Manangih tak tahan

Danau Maninjau ditingga buyanyo

Oh Tuhan Kuaso

Janji kan sarugo

Buku yang sangat menarik dan memberi banyak pelajaran dalam menjalani hidup.  Membuat saya merindukan ayah (alm.)  dan ibu saya di Padang.  Almarhum ayah saya yang mempunyai hati yang sangat lembut namun tegas dalam mendidik kami, tujuh orang anaknya. Almarhum ayah juga berperan besar dalam membesarkan Masjid Bahrain di dekat rumah kami.  Bersama pengurus masjid ayah juga merintis pendirian TPA (Taman Pendidikan Al-Qu’ran) yang saat ini sudah tumbuh besar.  Semoga semua amal ibadah almarhum ayah diterima Allah SWT. Amin YRA.

Semoga Bermanfaat .............. :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun