Siwaratri terdiri atas dua kata, Siwa dan ratri. Siwa berarti salah satu sifat atau kekuatan Hyang Widhi untuk melebur ciptaan-Nya. Siwa bukan Dewa Perusak, sebagaimana yang dipahami kebanyakan orang yang kurang paham selama ini. Istilah itu muncul dari terjemahan asing atas kata pralina, yang artinya adalah melebur, mengembalikan sesuatu yang sudah tak bisa berfungsi dengan semestinya. Bisa dibayangkan bila ciptaan-ciptaan-Nya yang sudah tak terpakai lagi, lalu tidak dilebur, maka dunia ini akan dipenuhi oleh sesuatu yang mengganggu kehidupan manusia.
Ratri berarti malam, malam payogan Hyang Siwa. Pada malam Siwaratri, yang jatuh pada malam ini (14 Januari 2010) diyakini oleh umat Hindu bahwa Hyang Siwa sedang melakukan yoga demi kesejahteraan alam semesta. Ya, hari ini umat Hindu memperingati salah satu hari yang disucikan, Siwaratri.
Siwaratri didasari oleh beberapa Purana, di antaranya adalah Siwa Purana, Garuda Purana, Skanda Purana, dan Padma Purana. Satu lagi sumber yang senantiasa dijadikan rujukan perayaan Siwaratri adalah Lontar Siwaratrikalpa, karya Mpu Tanakung.
Dalam sumber-sumber di atas, semuanya menggunakan simbol pemburu. Dikisahkan sang pemburu itu pergi berburu pada saat hari suci Siwaratri. Lalu kesasarlah sang pemburu, sampai malam hari, tidak mendapat satu pun hewan buruan. Karena takut pulang, sang pemburu memutuskan untuk tetap tinggal di hutan tersebut. Kemudian, karena takut akan binatang buas, maka naiklah sang pemburu ke atas pohon bilwa (bila, maja). Sambil menunggu siang, sang pemburu memetik-metik daun bila, yang jatuh di atas Siwalingga, yang kebetulan berada pas di bawah pohon tersebut.
Jika kita bawa ke dalam kehidupan manusia, memang benar, bahwa kita semua adalah pemburu. Ada yang berburu harta. Apakah sekadar untuk menyambung hidup atau untuk lebih dari itu. Ada yang berburu jabatan, berburu keinginan, berburu kesenangan, berburu memenuhi nafsu, berburu penghargaan, dan sebagainya. Semua jenis "buruan" itu diliputi oleh berbagai nafsu/kama, yang di dalam agama Hindu adalah salah satu musuh yang ada bersemayam di dalam diri manusia. Semua jenis nafsu itu adalah "binatang" buruan manusia, yang dalam berbagai purana tadi disebut dengan berbagai nama, salah satu yang paling dikenal adalah Lubdhaka.
Binatang-binatang yang berwujud nafsu dan berbagai keinginan inilah yang tiada henti diburu oleh manusia kini. Hutannya bisa jadi hutan betulan atau bisa juga hutan beton. kadang-kadang keinginannya terpenuhi, kadang-kadang tidak. Jika tidak terpenuhi, manusia kini yang tak mampu menguasai dirinya akan memanggil binatang lainnya seperti kemarahan, kebencian, iri hati. Bahkan ada yang menyebut nama binatang yang tak patut diburu: anjing, bangsat (kutu busuk), dan sebagainya. Yang lebih parah lagi, ada yang mengakhiri hidupnya sebagai manusia, dengan cara memaksa dirinya mati.
Manusia yang disimbolkan sebagai Lubdhaka tadi, lebih bisa diterima "jalan keluar" dari kegagalannya berburu. Dia hanya memetik-metik daun bila. Tidak mengamuk, marah, benci, apalagi mau bunuh diri, karena kegagalannya. Dia tidak melakukan hal itu. Dia hanya berusaha menguasai rasa takutnya.
Di zaman kali ini, sepatutnya kita lebih memusatkan diri untuk memerangi musuh-musuh yang bersemayam dalam diri kita, yang biasa disebut dengan sad ripu (enam jenis musuh). Keenamnya yaitu: kemarahan, kelobaan, kenafsuan, kemabukan, iri hati, dan keculasan. Keenamnya itulah yang akan menjerumuskan diri kita ke dalam jurang, jurang kesengsaraan, jurang kepapaan, jurang kenistaan, dan sebagainya. Bhagawadgita menyatakan itu sebagai pintu masuk ke neraka loka.
Memerangi musuh-musuh di atas, bukanlah sesuatu yang mudah. Luar biasa sulitnya. Kemarahan, jika muncul dan tak bisa dikendalikan tunggu saja akibatnya, yang pasti akan merusak diri sendiri. Kelobaan akan membuat seseorang lupa akan kehadiran orang lain dan juga dirinya. Kemabukan, yang jumlahnya 7 (sapta timira) akan semakin menjauhkan diri manusia dari jati dirinya yang sejati. Mabuk akan keremajaan, kegantengan atau kecantikan diri berapa lama akan bertahan? Kekayaan bisa memberi kebaikan, tetapi jika dilanda kemabukan terhadapnya akan membawa pemiliknya menjauh dan makin menjauh dari dirinya. Mabuk akan keturunan (bangsawan atau anak pejabat misalnya) makin menyempitkan nilai kemanusiaannya, yang bisa jadi akan merendahkan orang lain. Silahkan diteruskan dengan mabuk-mabuk lainnya, apa akibat yang bisa jadi melanda diri manusia.
Dengan mendekatkan diri kepada Hyang Siwa melalui hari suci Siwaratri ini, astungkara, kita akan mampu menghindari musuh-musuh di atas. Jalan pengendalian diri menjadi jalan yang bisa ditempuh. Melihat ke jauh ke dalam hati, jauh dan jauh, akan ditemukan sesuatu kita bersihkan sthana-Nya. Walaupun jauh, sebenarnya sangat dekat. Mari kita bersihkan sthana Hyang Siwa di dalam hati kita. Mari kita sucikan tempat Beliau, agar Beliau berkenan hadir dan senantiasa bersemayam di sana. Hati kita adalah Pura bagi-Nya. Dengan membersihkan dan menyucikan pura kecil dalam diri kita, sinar suci Beliau akan makin terang bagi kita dan secara perlahan-lahan mampu mengusir embun sad ripu (enam jenis musuh) yang melekat. Dengan begitu, kesadaran akan jati diri kita semakin tumbuh, tumbuh dan berkembang menjadi sebuah kesadaran yang nyata.
Pada suatu kesempatan IBG Agastya menyatakan bahwa: kata kunci dalam kitab-kitab Purana tersebut di atas adalah turu (tidur), tutur (sadar), papa (kesengsaraan), dan punia (pembebasan, kemuliaan). Oleh karena itu, ajaran Siwaratri adalah ajaran universal yang mengingatkan manusia pada hakikat dirinya adalah suci, dan Siwaratri harus dilaksanakan dalam suasana penuh kesucian, dengan melakukan pemusatan pikiran kepada Hyang Siwa yang mahasuci. Inilah hakikat ”perburuan manusia”, yang dimaksud dalam ajaran Siwaratri.