Dari hasil riset yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei dunia pada rentang waktu 2020-2024 menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara paling religius di dunia dengan sekitar 93 -- 96% responden asal Indonesia mengatakan bahwa keimanan kepada Tuhan dan memiliki agama amat sangat penting. Hal itu sangatlah tidak mengejutkan dikarenakan Indonesia menganut ideologi Pancasila dimana "Ketuhanan Yang Maha Esa" yang berarti memiliki keyakinan terhadap Tuhan dan agama-Nya adalah fondasi utama individu dan masyarakat dalam berkehidupan berkebangsaaan di NKRI.
Kata religius bermakna lebih dalam  dibandingkan kata religi yang bermakna sama dengan agama, dimana religi menunjukkan aspek-aspek formal dalam agama seperti ibadah, menjalankan kewaiban-kewajiban dan aturan-aturan formil agama. Sedangkan Kata religius menunjukkan sikap dan penghayatan pelaku agama terhadap agama yang dianutnya sehingga ia bersikap sesuai dengan ajaran agamanya.
Predikat negara paling religius di dunia terkesan memang membanggakan namun disisi lain beitu banyak ironi yang tersimpan. Dikatakan ironi karena keadaan social masyarakat Indonesia malah terasa jauh dari kata religius. Begitu banyak kasus-kasus di Indonesia yang terjadi menggambarkan kekotradiktifan perilaku masyarakat Indonesia dengan sikap yang seharusnya timbul dari ajaran agama. Perilaku itu bukan hanya terjadi pada masyarakat awam maupun pejabat, bahkan kaum terdidik, pendidik, hingga agamawan tidak sedikit menghiasi headline berita yang didalamnya terdapat perilaku-perilaku amoral. Lantas, jika yang dianggap agamawan saja tidak merepresentasikan sikap beragama, untuk apalagi manusia beragama?
Agama secara mainstream diartikan dari KBBI yaitu ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang disertai dengan tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia lainnya atau pun dengan lingkungannya." Â Dari sini dapat diartikan bahwa agama hanya sebatas mengatur keimanan, bentuk peribadatan dan hubungan sosial seseorang.
Namun jika kita tinjau sedikit jauh, dari segi bahasa agama berasal dari kata Sanskrit, dalam bahasa arab dikenal dengan kata din, dan dalam bahasa Barat dikenal dengan kata religi. Satu pendapat mengatakan bahwa agama terdiri dari dua kata, a = tidak dan gam = pergi, jadi tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi turun-temurun. Agama memang mempunyai sifat yang demikian. Ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci. Agama memang mempunyai kitab-kitab suci. Kemudian dikatakan pula bahwa gam berarti tuntunan. Memang agama mengandung ajaran-ajaran yang menjadi tuntunan hidup bagi pengikutnya. Adapula yang mengartikan bahwa a=Tidak dan gam= Tersesat. Dapat diartikan bahwa agama adalah sebuah tuntunan agar penganutnya tidak lah sesat.
Agama sejatinya berperan sebagai sebuah sistem nilai yang mengandung norma-norma khusus. Secara umum, norma-norma ini menjadi panduan dalam perilaku dan sikap individu agar sesuai dengan keyakinan agama yang mereka anut.
Dalam pengalaman kehidupan sehari-hari, perbedaan besar terlihat antara individu yang hidup sesuai dengan ajaran agamanya dan mereka yang tidak memiliki keyakinan agama atau tidak mempedulikannya. Orang yang teguh dalam keyakinan agamanya tampak tenang dan damai dalam wajahnya, sikapnya selalu santai. Mereka tidak merasa gelisah atau cemas, dan perilaku mereka tidak akan menyusahkan orang lain. Hal ini berbeda dengan individu yang tidak terikat pada agama. Mereka cenderung mudah terpengaruh oleh gangguan dan merasa cemas yang terus-menerus mengganggu pikiran dan perasaan mereka. Kecemasan hingga perilaku amoral yang terjadi cenderung disebabkan ketidakmampuan seorang beragama dalam mengatasi hawa nafsu.
Prof. Dr. Hamka menggambarkan fungsi dan peran agama sebagai "tali kekang," yang mengendalikan penyebaran pemikiran yang tidak terkendali, mengendalikan dorongan hawa nafsu yang destruktif, dan mengendalikan perilaku dan perkataan yang tidak bermoral. Agama memandu individu untuk menjalani hidup mereka sesuai dengan jalan yang benar yang ditentukan oleh Tuhan. Dalam ajaran agama Islam, proses agar seseorang hamba dapat mengendalikan hawa nafsu sangatlah panjang, proses itu biasa dikenal dengan istilah mujahadah dan riyadhah.
Seseorang yang beragama dan belajar agama namun di dalam hatinya tidak ada niat untuk memperbaiki diri dan menyadari kekurangan serta kesalahan yang ia miliki akan cenderung menimbulkan sifat-sifat buruk yang akhirnya menjerumuskan ia kejurang penuh dosa. Maka tidak heran jika kita terkadang melihat seorang yang dianggap sebagai agamawan atau terlihat agamis malah perilakunya lebih-lebih buruk diabandingkan orang-orang yang tidak mempelajari agama lebih dalam.
Perlu kita sepakati bahwa perilaku buruk itu bukanlah timbul dari agama, akan tetapi dari lemahnya umat beragama dalam mengontrol hawa nafsunya sehingga ia akan mendahulukan ego yang ada pada dirinya dikarenakan kurangnya peghayatan terhadap ajaran agama yang dianutnya.
Tugas kita sebagai umat beragama seharusnya terus mengevaluasi diri kita, mengenal kembali apa fungsi adanya agama dan tujuan kita beragama serta mengendalikan diri kita dari sifat-sifat yang dapat menjerumuskan diri kita kepada jurang maksiat dan Tindakan tidak bermoral dengan terus belajar dan mengikuti apa yang diajarkan atau dituntunkan oleh agama kita.