Di Indonesia faham agama (islam) dan kebangsaan bisa berjalan beriringan, berbeda dengan negeri-negeri lain terutama di Timur Tengah, kedua faham itu masih bentrok hingga sekarang. Masing-masng pihak mengklaim kebenaran dan keabsahannya sendiri-sendiri. (MUI, Kerukunan Umat Beragama). Di Indonesia kalangan tokoh pergerakan kemerdekaan nasional baik yang berlatar belakang ulama atau yang berlatar belakang pendidikan Barat sama-sama menggali faham kebangsaan dengan refrensinya masing-masing.
Para bapak pendiri kita sepakat menjadikan negara Indonesia sebagai NKRI, dengan wilayah yang membentang dari Sabang sampai Merauke serta dari Miangas sampai Rote. Disepakatinya NKRI ini berlandaskan pada berbagai macam kelompok masyarakat, baik dari segi suku, ras, budaya maupun agama di Indonesia ini. Maka dari sinilah para bapak pendiri kita mengidealisasikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majemuk, tetapi tetap satu, dengan semboyan "bhineka tunggal ika".
Perbincangann yang terjadi tentang pendirian negara ini telah sampai pada kesimpulan bahwa bentuk negara ini adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila sebagai ideology bangsa serta UUD 1945 sebagai konstitusi negara dan disepakati oleh seluruh bangsa Indonesia. Kesepakatan inipun tidak lepas dari ijtihad para ulama dan para pendiri bangsa, sehingga mengikat bagi seluruh elemen bangsa Indonesia.
Sejak merdeka pada tahun 1945, para ulama yang merupakan bagian penting dari pendirian negara Indonesia, telah sepakat bahwa Indonesia bukanlah negara Islam, bukan negara perang melankan negara damai (daar as-shulh), negara aman (daar as-salam) dan negara dakwah (daar ad-da'wah). (MUI, Islam dan Kebangsaan:51).
NKRI didirikan atas dasar kesadaran religious yang tinggi. Hal ini bisa kita jumpai dalam teks pembukaan UUD 1945 dan sila pertama pancasila yang berbunyi : 'Ketuhanan Yang Maha Esa'. Hal ini senada juga dengan bunyi UUD 1945 pasal 29 ayat (1) dan (2) yang masing-masing berbunyi : "Negara berdasarkan ketuhanan yang maha esa" dan "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu".(saintif.com).
 jika kita pahami teks tersebut, sudah sangatlah jelas bahwa NKRI didirikan bukan atas nama suatu agama akan tetapi berdasarkan ketuhanan. Maka dari itu, negara dan pemerintah menjamin keselamatan dan kebebasan bagi masyarakat untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai ajarannya masing-masing.Â
Karena keberadaaan agama itu dilindungi dan dijamin eksisitensinya oleh Pancasila. Dengan nilai dan visi ketuhananya, sebagaimana sila pertama pancasila, justru arah negara Indonesia bukanlah sekuler, bukan negara sosial-komunis, dan juga bukan negara kapitalis-liberal. Tetapi sebuah negara yang dibangun berdasarkan nilai dan visi Ketuhanan yang Maha Esa.
NKRI dengan berlandaskan ideology pancasila sejatinya sudahlah islami tanpa harus membawa embel-embel negara Islam. Norma agama Islam dan Ideologi Pancasila sebagaimana termaktub dalam teks pembukaan UUD 1945 memiliki kesamaan tujuan, yaitu menjaga eksistensi keesaan Tuhan, menjaga harkat dan martabat manusia, menjaga persatuan dan kesatuan, kebijkan kenegaraan dibangun berdasarkan musyawarah.Â
Empat prinsip tersebut ditujukkan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warga masyarakat Indonesia.(Muhammad Rifai:104). Jika dimaknai lebih luas, landasan ideology dan konstitusi Indonesia berbandng lurus dengan tujuan-tujuan syariah (Maqosid Syariah) yang berupa menjaga agama (Hifz al-Dinn), menjaga jiwa (Hifz an-Nafs), menjaga keturunan (Hifz an-Nasb), menjaga akal (Hifz al-Aql) dan menjaga harta (Hifz al-Mal).
Hubungan yang ideal antara norma agama dan pancasila juga dibangun Jamm'iyyah Nahdlatul Ulama dengan menjadikan pancasila sebagai asas sedangkan islam sebagai akidahnya. Dalam hal ini, hubungan antara akidah dan asas dipisahkan sebagai symbol adanya keseimbangan hubungan yang dinamis tetapi tidak aada pemisahan diantara keduanya.Â
Rumusan tersebut ditetapkan oleh KH Ahmad Siddiq, Rois Am pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ketika Muktamar NU di Situbondo, Jawa Timur tahun 1984 (Abdurrahman Wahid : 166). Hubungan agama dan negara yang ideal tersebut juga digambarkan dalam firman Allah yang menjelaskan masalah kesempurnaan agama Islam jika ditinjau secara substansif, bukan secara literlistik dalam Q.S.Al-Maidah : 3. (Abdurrahman Wahid : 102).