"Aku makan tiap hari, kadang hanya makan mi, gimana enggak kurang gizi...Nasib anak kost, ya nasib anak kost."
Masih ingat lagu itu? Ya, itu adalah potongan lirik tembang bertajuk 'Nasib Anak Kost' yang diparodikan oleh P-Project pada 1993 silam.
Lagu itu adalah versi parodi dari 'That's The Way Love Goes' yang dibawakan oleh Janet Jackson. Saya tidak hendak mengulas lagu pada tulisan perdana saya di Kompasiana. Saya ingin membicarakan diri saya sendiri, anak kost!
Ya, saya kini adalah seorang anak kost di Lampung, setelah lebih dari seperempat abad saya hidup nyaman di rumah orangtua saya di Jakarta. Sudah lebih dari dua tahun saya tinggal di Bandar Lampung, bekerja sebagai jurnalis koran lokal yang tergabung dalam sebuah grup media besar nasional.
Meski, gaji yang saya terima sangat tidak sebesar nama hebat grup media tempat di mana saya bekerja sekarang. Ironis memang. Karena gaji yang sangat tidak besar itulah, saya pun hanya bisa nge-kost, alih-alih mengontrak rumah, apalagi membelinya.
Tapi, ternyata God Save The Kost-er. Tuhan menyelamatkan anak-anak kos! Buktinya, dengan gaji minimalis dan kebutuhan hidup yang maksimalis, saya masih bisa hidup damai sejahtera.
Damai, karena masih bisa tidur nyenyak, makan, minum, dan merokok. Sejahtera, karena tidak pernah mengutang. Bahkan, saya masih bisa menabungkan gaji saya ke bank, meski sedikit.
Nge-kost, bagi saya, bukanlah pilihan, tapi desakan hidup. Karena didesak harus punya 'tempat tinggal' dengan gaji minim, maka nge-kost adalah jawaban yang paling realistis buat saya, mungkin juga buat jutaan kost-er di Indonesia.
Namun, saya percaya, nge-kost membuat para kost-er lebih mandiri, dewasa, tahan banting, dan pandai berhemat. Bukankah hemat pangkal kaya? Catat, hemat, bukan pelit!
Maka, nge-kost adalah salah satu bagian dari pembelajaran hidup. Sebuah pelajaran berharga, bahwa masih ada jutaan orang di Indonesia yang tidak punya tempat tinggal, serta tidak bisa makan dan minum yang layak. Bahkan, lebih parahnya lagi, tidak punya harapan hidup!
Para kost-er, termasuk saya, jelas jauh lebih beruntung ketimbang mereka. Jadi, tak perlu malu dan minder jadi anak kost. Viva kost-er! (*)