Mengawali tulisan saya di media kompasiana saya tertarik menulis dengan judul diatas oleh sebab relevansinya dengan situasi social dan politik provinsi Papua hari ini (2015). Walaupun referensi saya tentang kisah histori otonomi khusus dari sebuah buku terbitan tahun awal (2004) namun masih memiliki relevansi erat dengan hari ini.
Bukanlah rahasia umum tentang keberadaan undang-undang otonomi khusus tahun 2001 tersebut adalah suatu undang-undang yang ditetapkan sesuai dengan garis besar haluan negara (GBHN) tepatnya ketetapan MRR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN yang dimuat kemudian dalam lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 132, dan tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2001 Nomor 4151. Dalam hirarki perundang-undangan posisi undang-undang otsus Papua memiliki kekuatan hukum karena bukan berbentuk keputusan presidan (kepres) atau berbagai keputusan dibawah pemerintah melainkan suatu GBHN. Artinya dalam pelaksanaan undang-undang otsus dapat lebih konsisten dan kuat posisi tawarnya kepada berbagai peraturan pembangunan lainya.
Namun sangat disayangkan justru yang terjadi di Papua hari ini wibawah perundang-undangan yang ditetapkan dalam GBHN ini dicoreng oleh pemerintah sebagai pembuat undang-undang itu sendiri. Pemerintah yang saya maksudkan disini adalah pemerintah baik pemerintah di pusat (Jakarta) atau juga perwakilannya di Papua (pemprov). Hari ini masyarakat Papua pada umumnya bersama kalangan mahasiswa melihat otsus masih sebatas nominal uang yang dikucurkan pemerintah pusat, atau doatur kepada pemerintah Papua, yang pada akhirnya akan habis oleh pembelanjaan apartur pemerintah. Manfaat uang otsus dalam berbagai bidang sangat minim hanya Nampak begitu kecil saja. Saya mengambil ccontoh bidang ekonomi misalnya tidak ada peberdayaan namun dikota-kota dan kabupaten pemerintah melalui dinas terkait memberikan begitu banyak tenda-tenda berjualan kepada pedagang pinang, dengan merek “bantuan dana otsus”, atau bis-bis instansi pemerintah dan kampus bermerek otsus. Sampai hari ini otsus Papua hanya dikenal seperti itu
Sebagai seorang mahasiswa penulis melihat kejanggalan-kejanggalan ini sehingga menelusri sedikit sejarah hadirnya perundang-undangan istimewah tersebut. Ternyata ini bukan semerta-merta pemberian pemerintah pusat (Jakarta) namun berdasarkan aspirasi orang Papua itu sendiri. Saya mendapatkan bahwa orang Papua yang mendesak diberlakukannya otonomi khusus ini tidak lain adalah kalangat elit atau para pejabat birokrasi pemerintahan di Papua. Dengan memanfaatkan moment politik semata-mata. Moment politik pertama adalah tumbangnya Soeharto dari panggung politik pada tahun 1998. Kedua adanya perluasan kewengan kepada pemerintah daerah melalui undang pemerintahan daerah No 22 Tahun 1999 hasil dari lengsernya Soeharto. Ketiga adanya adanya konflik rakyat Aceh dan Pemerintah pusat (Jakarta) yang memiliki banyak kesamaan dengan konflik di Papua. Keempat adalah sikap bermartabat orang Papua yang memita lepas dari Republic Indonesia (“M”) kepada presiden B.J Habibi pada tanggal 26 februari 1999.
Inilah Moment polotik yang dimanfaatkan oleh anggota DPR RI pemilihan Papua. Kita sebut adalah S.P Morin, J.P Solosa, Antonois Rahael, Ruben Gobay, Pdt. Sabarorek, Martine Mahue, Pdt. Lukas Karel Degey,M.T. Tumbolon, H.M Sulaiman Nusantara, Sembiring Meliala, Astried Susanto, dan Daniel Yoku yang memimpin gugatan kepada pemerintah Jakarta pada tahun 1999 ketika dipastikan bahwa Aceh mendapat sebuah kekususan melaluiGBHN 1999-2004. Alasan elit adalah subtansi Aceh dan Papua sama.
Tidak dapat kita pastikan apa yang ada didalam pikiran para pejabat asal Papua ini saat itu. Bukankah sebaiknya melihat reaksi pemerintah pusat (Jakarta) terhadap aspirasi merdeka oleh Tim 100 pimpinan Tom Bainal karena kelompok ini benar-benar mewakili mayoritas rakyat Papua. Karena tanpa sebuah paksaan (money politik) rakyat mempercayakan mereka. Mereka inilah rakyat Papua bukan elit politik Papua yang dibayar untuk bekerja dengan pemerintah Indonesia selama ini. Aspirasi merdeka tersebut membutuhkan sebuah kebijakan yang lahir dari pemerintah Pusat, bentuk seperti apa, mengangap papua selama konflik itu seperti apa, semua itu akan tercermin dari kebijakan pemerintah pusat merespon Tim 100, bukan sebaliknya kebijakan datang dan dilahirkan oleh birokrat Papua.
Manufer politik yang dimainkan oleh elit papua ini untuk meminta uang sebanyak-banyaknya (otsus) kepada pemerintah Jakarta dengan memanfaatkan memoment terlihat jelas. Sambil lalu menggalangkan kapasitas sebagai pejabat Papua, baik DPR RI, Gubernur, Bupati, LSM, hinngga akademisi Uncen yang diabayar memfasilitasi semua proses tersebut. Menjadi pertanyaan apakah Otsus aspirasi orang Papua saat itu (melalui tim seratus), ataukah otsus adalah pemberian pemerintah Pusat. Namun bukan keduanya.
Pada tahun 2001 atau setelah konggres rakyat Papua II di Gor Cenderwasih Jayapura tahun 2000 Elit Papua menyiapkan sebuah strategi bertahap yang dimainkan peran oleh J.P Solosa Gubernur Papua dalam rangka meyakinkan rakyat Papua. Yaitu dengan pidato setiap bulan sekali sejak tanggal 25 januari 2001 hingga 21 Januari 2002. Pada awal pidato tahun 2001 yang disiarkan berulang-ulang di radio dan tv local adalah pra kondisi rancangan undang-undang otsus papua yang akan di bawah kepada pemerintah Jakarta. Setelah dibawah justu telah menipu mayoritas rakyat Papua melalui pidato itu. Yaitu “tetapi sekarang berbeda, yang ditawrkan kepada kita oleh GBHN, produk huku tertinggi adalah otonomi khusus. Isinya sampai sekarang belum ada”.Kenyataan hari ini adalah undang-undang Otsus papua adalah hasil kolaborasi.
Awalnya Jelas bahwa Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999, tentang pembengtukan provinsi Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya,dan kota Sorong. Ini adalah jawaban pemerintah pusat yang realistis dalam rangka mereduksi aspirasi merdeka. Undang-undang ini terus diperdegas dengan Inpres Presden Megawati No 1tahun 2003, dan presiden Soesilo Bambang Yoedoyono (SBY) tahun 2005. Ini adalah pilihan pemerintah pusat yang rasional dan menjawab aspires merdeka Tim 100 tersebut. Perpaduan kedua draf Papua dan Jakarta hanya bentuk penghargaan Jakarta kepada pemerintah daerah karena sudah susah payah menjadi perpanjangan tangan pemerintah pusat selama ini hal itu yang terlihat.
Apa gunanya Otsus sejak awal dipaksakan selama hampir setahun di Jakarta oleh DPR RI dan dibackap tim asistensi yang adalah akademisi Uncen tersebut, jelas bahwa hanya meminta sebuah “gula-gula politik” yaitu uang dalam jumlah yang besar. Terbukti walaupun telah disahkan sebagai undang-undang otsus bagi provinsi Papua namun mengalami ketimpangan-ketimpangan dalam hal mereaslisasi daam kehidupan bermasyarakat. Sampai hari ini tidak ada peraturan-peraturan turunan (perdasi dan perdasus) demi penguatan isi undang-undang otsus tersebut. MRP bukan lembaga “Super Body” seperti yang diharapkan. Papua bukan lagi suatu keutuhan administrasi lagi melainkan sudah dua provinsi dan banyak kabupaten. Uang otsus hanya hadir menjebak banyak pejabat Papua dengan korupsi sebab penempukan harta pribadi. Otsus sudah gagal sejak direncanakan sebenarnya karena bukan menjadi aspirasi masyarakat Papua dan bukan pulah jawaban pemerintah Papua, melainkan inisiatif para elitis di Papua.