Mohon tunggu...
Yasmin Tiara Qonita
Yasmin Tiara Qonita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Akun untuk tugas

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Digital dan Tantangan Era Reformasi

4 Januari 2025   18:32 Diperbarui: 4 Januari 2025   18:32 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perkembangan teknologi digital telah mengubah lanskap politik global secara signifikan. Kehadiran media sosial, platform daring, dan akses informasi yang lebih luas telah membuka peluang besar bagi masyarakat untuk terlibat secara langsung dalam proses demokrasi. Dengan adanya internet, setiap individu memiliki akses yang hampir tak terbatas terhadap informasi, sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih besar dalam pengambilan keputusan politik. Namunm transformasi digital ini juga membawa tantangan baru yang berdampak pada stabilitas demokrasi, terutama terkait dengan misinformasi, polarisasi, dan potensi manipulasi opini publik.

Dalam konteks demokrasi, ruang digital sering kali dipandang sebagai alat untuk memperkuat partisipasi politik masyarakat. Melalui media sosial, individu dapat menyuarakan pendapat mereka, mengorganisisir gerakan sosial, dan terlibat dalam diskusi politik secara lebih terbuka. Fenomena ini dikenal sebagai digital democracy, di mana teknologi memainkan peran penting dalam mendukung keterlibatan politik dan memfasilitasi komunikasi antara pemerintah dan masyarakat (Sumartias et al., 2023). Selain itu, internet juga memungkinkan kelompok-kelompok yang sebelumnya terpinggirkan untuk lebih terlihat dalam dirkursus publik, memberikan mereka kesempatan untuk mengadvokasikan kepentingan mereka.

Namun, meskipun ada potensi besar yang ditawarkan oleh demokrasi digital, tantangan yang muncul tidak bisa diabaikan. Salah satu masalah utama yang sering dihadapi dalam ruang digital adalah penyebaran informasi yang salah atau misinformasi. Misinformasi dapat dengan cepat menyebar melalui media sosial, memperburuk polarisasi politik dan menciptakan ketidakpercayaan terhadap institusi politik.Menurut laporan yang diterbitkan oleh Pew Research Center (2024), sekitar 64 persen orang dewasa di seluruh dunia pernah terpapar berita yang tidak akurat di media sosial.Fenomena ini menciptakan tantangan serius bagi demokrasi karena keputusan yang diambil oleh warga negara sering kali didasarkan pada informasi yang salah atau tidak lengkap.

Selain misinformasi, fragmentasi informasi juga menjadi masalah yang kian nyata dalam era digital. Algoritma yang digunakan oleh platform media sosial sering kali dirancang untuk menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna. Akibatnya, pengguna hanya terpapar informasi yang sejalan dengan pandangan politik mereka, sehingga memperkuat bias yang sudah ada dan memperdalam polarisasi politik (Sunstein, 2018). Hal ini dikenal sebagai echo chamber, di mana pengguna hanya berinteraksi dengan informasi yang memperkuat keyakinan mereka sendiri, tanpa pernah mempertimbbangkan perspektif lain. Akibartnya, ruang publik yang seharusnya menjadi tempat pertukaran gagasan yang inklusif justru menjadi terfragmentasi.

Lebih jauh, munculnya bots dan akun-akun palsu di media sosial menambah kompleksitas tantangan demokrasi digital. Penggunaan bots untuk menyebarkan propaganda politik atau menciptakan polarisasi buatan tekkah menjadi fenomena global yang dapat memengaruhi persepsi publik dan bahkan hasil pemilu. Misalnya, dalam pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2016, banyak laporan yang menyebutkan adanya campur tangan melalui penyebaran disinformasi yang dilakukan oleh aktor-aktor negara asing melalui platform digital (Benkler et al., 2018). Hal ini menunjukkan bagaimana teknologi digital dapat dimanipulasi untuk merusak proses demokrasi, bukannya memperkuatnya.

Selain tantangan yang dihadapi dalam ruang digital, ada juga pertanyaan tentang keterwakilan politik di era digital. Meskipun teknologi digital membuka akses lebih luas bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses politik, tidak semua orang memiliki akses yang sama terhadap teknologi ini. Kesenjangan digital atau digitak divide masih menjadi masalah yang signifikan di banyak negara, termasuk Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (2022), sekitar 22% masyarakat Indonesia belum memiliki akses internet. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ruang digital semakin dominan, masih banyak masyarakat yang terpinggirkan dalam proses demokrasi digital karena keterbatasan infrastruktur.

Oleh karena itu, untuk mencapai demokrasi yang inklusif di era digital, diperlukan langkah_langlah yang lebih sistematis untuk mengatasi kesenjangan digital, serta regulasi yang ketat untuk mengurangi penyebaran misinformasi dan polarisasi politik. Pemerintah, platform teknologi, dan masyarakat sipil perlu berkolaborasi untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih sehat dan transparan. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah memperkuat literasi digital masyarakat, sehingga mereka dapat lebih kritis dalam mengonsumsi informasi di media sosial. Literasi digital yang baik akan membantu masyarakat membedakan antara informasi yang valid dan yang menyesatkan, serta meningkatkan kualitas partisipasi politik mereka (Mason, 2024)

Selain itu, platform digital juga memiliki tanggung jawab untuk lebih transparan dalam penggunaan algoritma mereka. Algoritma yang saat ini banyak digunakan oleh platform media sosial cenderung memprioritaskan konten yang memicu keterlibatan emosional, seperti berita kontroversial atau sensasional. Hal ini sering kali mengarah pada penyebaran konten yang bersifat memecah belah atau misinformasi (Bakshy et al., 2015). Dengan memperbaiki desain algoritma dan mempromosikan konten yang lebih berimbang dan informatif, platform digital dapat membantu mengurangi polarisasi politik di masyarakat.

Di sisi lain, pemerintah juga perlu memainkan peran yang lebih aktif dalam mengatur ekosistem digital. Regulasi yang ketat terkait misinformasi dan perlindungan data pribadi harus diperkuat untuk melindungi warga negara dari manipulasi politik dan komersial. Pemerintah juga harus memastikan bahwa setiap individu memiliki akses yang sama terhadap teknologi digital, sehingga tidak ada yang tertinggal dalam proses demokrasi. Upaya untuk memperluas akses intermet dan meningkatkan infrastruktur digital harus menjadi prioritas dalam kebijakan pembangunan nasional, terutama di daerah-daerah terpencil dan tertinggal.

Secara keseluruhan, demokrasi digital menawarkan peluang besar untuk meningkatkan keterlibatan politik masyarakat, tetapi juga menghadirkan tantangan serius yang perlu diatasi dengan bijak. Misinformasi, polarisasi, dan kesenjangan digital adalah beberapa masalah utama yang harus dihadapi jika ingin menciptakan ruang politik yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Demokrasi yang sehat di era digital bukan hanya soal akses, tetapi juga tentang kualitas partisipasi dan keterlibatan yang didasarkan pada informasi yang benar dan akurat.

REFERENSI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun