Perkembangan teknologi di era serba digital seperti saat ini memungkinkan persebaran pesan, suara, maupun video dengan sangat cepat. Tentu sangat memudahkan kehidupan manusia, terlebih di masa pandemi seperti ini. Namun, dalam segala hal pastinya memiliki sisi positif dan sisi negatif, salah satunya dengan persebaran pesan di dalam sosial media, tidak semua hal dapat dibagikan salah satunya konten yang mengandung ujaran kebencian, dan sangat disayangkan tidak banyak masyarakat yang mengetahui peraturan dalam penyebaran pesan yang dapat di jerat dengan undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau bisa disingkat UU ITE.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kebebasan dalam berpendapat. Kebebasan yang dimaksud yakni kebebasan dalam berbicara secara bebas tanpa adanya batasan. Akan tetapi masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui bahwa kebebasan berpendapat di depan umum, yang telah diatur pada pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) ini memiliki pengecualian dalam berpendapat, yakni pendapat yang dapat memicu atau menyebarkan kebencian. Berdasarkan UUD 45 mengatur dalam penyampaian pendapat dimuka umum (Demonstrasi), salah satunya dalam mengkritik pemerintah, baik dalam bentuk Unjuk Rasa/Demo, pawai, rapat umum, dan mimbar bebas. Namun peraturan kebebasan berpendapat ini kurang mengikuti zaman, dimana saat ini banyak orang menyampaikan pendapatnya melalui media sosial, dengan itu UU ITE dibuat untuk mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia maya.
UU ITE dibuat pada awal tahun 2000, tepatnya pada era kepresidenan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Dimana pada saat itu dunia maya mulai digunakan oleh masyarakat Indonesia, dan saat itu belum ada hukum yang mengatur dunia maya atau siber. Sehingga 2 perguruan tinggi negeri, Universitas Indonesia dan Universitas Padjadjaran, masing-masing menyusun konsep RUU cyberlaw yang kemudian berdasarkan keterangan Kepala Biro Humas Kominfo, Ferdinandus Setu pada Februari 2019 lalu pasa Kumparan.com, kedua naskah tersebut di gabung menjadi satu naskah RUU pada 2003, pada era kepresidenan Megawati dan Menteri Negara Komunikasi dan Informasi dijabat Syamsul Mu'arif. Setelah melalui pembahasan di DPR, UU ITE akhirnya disahkan DPR pada 25 Maret 2008 dan kemudian disahkan oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 21 April 2008 dan berlaku dihari yang sama.
UU ITE disahkan guna mengatur dunia siber seperti e-commerce, hingga tindak pidana teknologi informasi mengenai informasi SARA, ujaran kebencian, informasi bohong/hoaks, penipuan online, pornografi, judi online, serta pencemaran nama baik. UU ITE disahkan juga berdasarkan UUD 1945 pasal 28 B ayat 2, dimana setiap warga negara Indonesia memiliki hak dalam kebebasan dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun serta berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif, yang artinya masyarakat berhak untuk dilindungi baik di dunia nyata maupun dunia maya. UU ITE ini juga berlaku pada setiap lapisan masyarakat, termasuk pemerintahan.
Namun sayangnya penggunaan UU ITE kerap kali digunakan sebagai ancaman kriminalisasi. Ancaman ini telah disuarakan berbagai pihak, secara khusus terhadap berlakunya Pasal pencemaran nama baik dan ujaran kebencian/SARA. Dikarenakan banyak orang terjerat pidana karena UU ITE, tepatnya pada pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2 UU ITE yang berisikan, Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat 3). Dan Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA (Pasal 28 ayat 2).
Seperti kasus yang dialami seorang pria di Tanjungpinang, Kepulauan Riau berinisial MK (59) atas dugaan penyebaran berita hoax dan SARA melalui media sosial pada bulan Mei lalu. MK diamankan oleh Tim Opsnal Subdit V Siber Ditreskrimsus Polda Kepri. Kabid Humas Polda Kepri, Kombes Pol Harry Goldenhardt mengatakan bahwa Kronologis kejadian berawal dari MK membuat postingan pada 8 Mei 2021 melalui akun twitter @MustafaKamalN13. MK, menggunakan akun twitter bernama TIGER ANDALAS itu menyebarkan berita hoax dan mengandung unsur SARA tentang Presiden Joko Widodo (Jokowi) beserta ibu dan istrinya dengan ungkapan tak senonoh. Tak hanya kepada Presiden Jokowi MK juga menghina Ketua PBNU Said Aqil Siradj dengan kata kasar menggunakan akun yang sama. Dir Reskrimsus Polda Kepri, Kombes Pol Teguh Widodo menerangkan, Atas perbuatannya MK dapat dijerat dengan Pasal 45A ayat 2 Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 ITE atas perubahan Undang-undang Nomor 11 tahun 2018 ITE. MK juga dapat dikenakan Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2008 ITE dan atau pasal 14 ayat 2 UU RI Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Ini adalah kali ketiga MK Ditangkap karena kasus yang berurusan dengan ungkapannya di media sosial. Berdasarkan sumber yang diambil oleh Kepripedia, MK pernah ditangkap pada 18 Agustus 2017 oleh Sat Reskrim Polres Tanjungpinang di Sungai Lekop Jalan Korindo, Kabupaten Bintan. Ia ditangkap setelah diduga menghina Presiden Jokowi melalui akun Facebook miliknya, selain itu postingannya juga mengandung penghinaan terhadap Wali Kota Tanjungpinang yang menjabat saat itu, Lis Darmansyah, Ketua DPC NasDem Tanjungpinang Bobby Jayanto, dan Anggota Fraksi Partai Hanura di DPRD Kepri, Rudi Chua. Namun saat itu MK tidak ditahan karena Wali Kota Tanjungpinang yang bertugas pada tahun 2017, Lis Darmansyah memaafkan MK dan meminta menghentikan kasus MK dengan syarat MK tidak mengulangi perbuatannya. Kasus tersebut ternyata tak membuat MK jera, tak lama MK kembali dilaporkan pada Februari 2018 oleh Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) ke Polres Tanjungpinang setelah memposting di media sosial Google Plus diduga menghina Presiden Jokowi beserta istri, Iriana Jokowi, selain itu MK lagi-lagi kembali diduga menghina Wali Kota Tanjungpinang, Lis Darmansyah beserta istri dan ibundanya yang telah meninggal dunia karena postingan MK bertepatan dengan momen Pilwako Tanjungpinang dinilai dapat memicu konflik antar kelompok.
Berdasarkan kasus MK diatas kita dapat melihat bahwa edukasi masyarakat dalam bersosial media dan UU ITE masih kurang, dan belum dapat memberikan efek jera kepada para pelaku. UU ITE yang kurang maksimal mendorong pemerintah Indonesia untuk melakukan revisi undang-undang guna memastikan bahwa UU ITE, yang tepatnya pada pasal 28 ayat 2, dapat digunakan dengan bijak dan sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat khususnya dalam isu HAM dan juga demokrasi. Masyarakat dan beberapa fraksi partai di DPR mengusulkan bahwa UU ITE harus segera diperbaiki dan segera dimasukkan kedalam daftar Prolegnas Prioritas 2021. UU ITE dianjurkan untuk diperbaiki karena adanya ketidaktepatan penerapan pasal tersebut sehingga banyak masyarakat yang melapor kepada pihak berwajib dan menyalahgunakan sebuah kasus dari dunia maya dengan alibi UU ITE pasal 27 dan 28 sehingga menimbulkan persoalan sosial, selain itu juga UU ITE harus di revisi dalam pemberian hukuman agar ada efek jera pada pelaku yang dianggap meresahkan , yakni dengan usulan 4,5 tahun penjara pada RUU KUHP bagi penghina presiden atau pemerintah yang meresahkan masyarakat dan mengundang perpecahan.
Kembali kepada judul dari artikel ini, apakah UU ITE saat ini tidak cukup? Menurut saya jawabannya adalah iya! Perlu adanya revisi pada UU ITE yang diharapkan dapat memperjelas penggunaan beberapa pasal agar masyarakat indonesia bijak dalam menggunakan sosial media baik dalam menyampaikan pendapat, informasi atau dalam melaporkan sebuah kasus yang berhubungan dengan sosial media. Tak lupa juga untuk mengedukasi masyarakat lebih baik lagi dalam bersosial media dan tentang UU ITE.
Yasmin Hasan S. Thalib
Mahasiswi Prodi Ilmu Komunikasi - Universitas Muhammadiyah Malang