layar besar yang menempel di dinding ruang tunggu menampilkan jadwal keberangkatan rangkaian gerbong beroda besi. Datang dan pergi menjadi hal paling mendominasi. Suara operator keberangkatan mengingatkan kita bahwa tidak lama lagi aku akan meninggalkanmu. Entah berapa lama waktu yang akan berjalan, tujuan utamaku tetaplah pulang.Â
Terik matahari tidak menghalangi keinginanku untuk pergi kesebuah toko buku di tengah kota. Aku tidak sendirian kali ini, Gio menemani. Dia menyempatkan waktu istirahat kantornya untuk sekedar menemaniku membeli buku yang sudah lama aku inginkan.Â
Katanya, sekalian saja karna lusa aku harus kembali lagi untuk menyapa aktivitas di kota seniman, pelajar? begitulah kebannyakan orang-orang menyebutnya. Gio tidak pernah banyak berbicara, biarlah saat ini kita saling menikmati waktu yang tersisa. Selesai membeli buku tadi, Gio kembali ke kantor menyelesaikan pekerjaannya. Sedangkan aku tidak langsung pulang ke rumah dan memilih untuk singgah disebuah toko roti.Â
Sampainya di rumah, aku lebih memilih untuk menata roti yang tadi aku beli di perjalanan pulang. Membca buku ditemani berbagai jenis roti adalah salah satu hal paling menyenangkan menurut Tia. Buku dan roti menjadi hal yang tidak akan terpisahkan dikeseharian Tia.Â
Bulan mulai menampakkan cahayanya sedangkan Tia masih sibuk dengan koper dan barang-barangnya. Tia tidak akan pernah bersiap mendekati hari keberangkatan. Biar hari itu menjadi waktu kosong untuk Tia dan Gio. Tepat pukul sepuluh malam aku selesai dengan barang-barang yang akan kubawa lusa. Aku merebahkan tubuh di atas kasur berwarna coklat susu, membuka ponsel untuk sekedar membalas pesan Gio yang sejak dua jam lalu terabaikan.Â
Karena ajakan Gio kemarin malam, sore ini aku menikmati semangkuk es cream oreo vanila dengan potongan roti diatasnya sedangkan Gio melahap pudding jeruknya sambil bercerita banyak hal. Sore ini terasa sangat singkat. Padahal waktu tak pernah memperpanjang durasinya meski kita memaksa, tak akan mengulang kenangan meski kita meminta. Angka jam menunjukkan waktu semakin larut, angin malam terasa semakin dingin dan Gio segera mengantarku pulang.Â
Hari ini mungkin akan terasa lebih berat, meski sejak pagi tadi aku hanya duduk di depan televisi sambil menonton. Namun, hari ini belum memasuki intinya. Matahari perlahan hilang di ujung langit sore. Gio datang untuk mengantarku ke Stasiun kota. Disepanjang perjalanan kami tak banyak bicara. Saat yang selalu berusaha kita hindari tidak lama lagi akan datang. ya, pergi. Ruang tunggu keberangkatan menjadi saksi bagaimana orang-orang pergi, entah dimana dan apa tujuannya nanti, pergi akan tetap menjadi hal paling menyebalkan kata Gio.Â
Selama waktu yang tersisa, tidak banyak percakapan antara aku dan Gio. Gio hanya berbicara menyampaikan pesan-pesan yang selalu sama setiap aku pergi. hati-hati ya, menjadi pesan bergaris bawah yang ia sampaikan. Gio memberiku paper bag coklat yang ternyata berisi buku bacaan.Â
Katanya, buku ini yang akan menemaniku nanti sepanjang perjalanan agar tidak bosan. Aku berjanji padanya untuk selalu  membawa buku ini kemanapun aku melakukan perjalanan. Kemudian hening sampai waktunya aku untuk check in karena sebentar lagi kereta yang akan membawaku pergi segera datang. Tidak banyak yang kata yang ia ucapkan selain senyumnya yang selalu sama. Meyakinkan ku untuk tetap pergi. Meskipun ini bukan yang pertamakalinya, rasanya akan tetap berat. Tidak ada yang benar-benar terbiasa dengan kepergian.Â
Setelah cerita itu, tidak ada lagi Gio yang mengantarku ke stasiun kota untuk sekedar melihat keretaku menghilang., tak ada lagi Gio yang mengajakku menghabiskan es cream dihari sebelum jadwal keberangkatannku dan tak ada lagi Gio yang berpesan, hati-hati ya. Gio pergi dan tak pernah kembali setelah mengantarku dua tahun lalu. Bahkan saat aku datang, Gio tak akan pernah kembali. Dunianya telah berganti.Â
Tak lama setelah keberangkatan, pemberhentian pertama dimulai. Aku mengambil buku yang sudah kubaca berulang kali. Kembali membaca buku itu tanpa satu kata yang terlewatkan. Buku terakhir pemberiannya yang sampai saat ini masih setia menemani perjalananku. Seperti yang diucapkannya saat itu, buku ini yang akan menemaniku disetiap perjalanan. Rupanya aku mulai paham, ia memberikan buku ini sebagai temanku karena kamu yang tak lagi bisa menemani.