Menjadi pemimpin, sejatinya, tidaklah mudah. Setiap gerak-gerik akan selalu diamati publik. Pun dalam konteks Indonesia yang tengah membangun demokrasi, siapapun pemimpin harus siap menghadapi kritisisme. Kasus ‘jari tengah’ Foke tak terlepas dari kritisisme tersebut. Reportase jalur dunia maya telah menyebar begitu deras. Publik akhirnya beranggapan Foke tak berlaku pantas dengan keluguannya. Sang Gubernur berdalih. “Tak paham, tak mengerti bahasa anak muda,” adalah dalihannya. Namun publik tentu tidak ‘sesederhana’ itu. Karenanya wajar jika sang Gubernur mendapat hujatan di dunia maya. Ia seharusnya tidak ‘sesederhana’ (sengaja diberi tanda ‘petik’ agar tak terdengar sarkastis) itu. Terlebih dengan tingginya jabatan publik dan topi intelektual doktor diraih dari salah satu negara maju di Eropa. Kasus Foke layak menjadi pelajaran. Seorang pemimpin, lebih-lebih dalam konteks Indonesia, kerap dianggap lebih dari rakyat biasa. Ia harus lebih pintar, bijak, dan ‘lebih-lebih’ lainnya. Karenanya kesalahan yang tak perlu seharusnya tak perlu terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H