Mengingat bahwa hubungan hukum antara perjanjian pajak internasional dengan hukum pajak  domestik tidak berada dalam kamar sumber hukum yang sama, maka tidaklah mungkin kita mengatakan keduanya mempunyai atau ‘berhubungan khusus’. Sehingga sangatlah beralasan jika kita berpandangan bahwa hukum pajak internasional yang bukan termasuk dalam kamar sumber hukum perundang-undangan tidaklah dapat dikatakan bersifat lex spesialis atau lex superiori jika disandingkan dengan hukum pajak domestik.
Bila kita menelaah judul tulisan ini ‘Pajak Internasional Indonesia’, tentu wajar jika menimbulkan pertanyaan bagi kita, yaitu bagaimanakah maksud dan relevansi judul tersebut dengan hukum pajak domestik? Jika tulisan S. Gautama tentang Hukum Perdata Internasional Indonesia dimaknai antara lain sebagai hukum perdata Indonesia yang juga berlaku bagi orang asing atau badan asing, bukan berarti yang dimaksud dalam judul ini adalah hukum perpajakan domestik yang juga berlaku bagi orang asing atau badan asing.
Tetapi yang dimaksud Pajak Internasional Indonesia dalam tulisan ini adalah bagaimanakah kita memberikan makna dan menempatkan hukum pajak internasional jika disandingkan dengan hukum pajak domestik. Tentu sesuai dengan teori perjanjian internasional diatas, kita haruslah memberikan makna dalam konteks  teori monisme atau teori dualisme, baik dalam konteks primat hukum internasional maupun primat hukum nasional.
Sejalan dengan Undang-Undang Perjanjian Internasional, kedudukan pajak internasional jika disandingkan dengan hukum pajak domestik tidaklah tepat atau tidak relevan jika dikaitkan dengan asas hukum lex specialis derogate legi generali ataupun lex superiori derogat legi inferiori. Pada hemat kami lebih tepat jika ditempatkan dalam perspektif teori monism dengan primat hukum internasional, namun dalam konteks tertentu tetap dapat berpegang pada teori monism dengan primat hukum nasional.
Jadi pada prinsipnya jika terdapat suatu perjanjian internasional termasuk perjanjian di bidang perpajakan, baik itu bersifat bilateral maupun multilateral, maka sikap hukum Indonesia haruslah menghormati, patuh dan mengikuti dengan suatu ketaatan. Namun tetap mengingat prinsip bahwa dengan kita melakukan pengakuan supremasi hukum internasional tidak berarti bahwa kita begitu saja menerima apa yang dinamakan hukum internasional yang berlaku, sebagaimana dikemukakan Mochtar Kusumaatmadja.
Jika terdapat suatu pertanyaan, bagaimanakah hak dan kewajiban perpajakan warga negara Indonesia yang kebetulan bertugas di suatu lembaga internasional dan terdapat ‘hukum internasional perpajakan’ yang mengatur bahwa atas penghasilan di lembaga internasional tersebut bukan merupakan objek pajak penghasilan di Negara asal? Bagaimanakah keberlakuan hukum pajak domestik?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentunya tidak sekedar melihat ada tidaknya hukum internasional, tetapi yang juga penting untuk dilihat adalah bagaimana paradigam negara. Mengapa? Karena pada hemat kami walaupun ketentuan tersebut merupakan perjanjian internasional (perjanjian antar subjek hukum internasional), tetapi urusan substansialnya bukanlah antara hukum perpajakan Indonesia dengan lembaga internasional tersebut (apapun lembaganya), tetapi urusan utamanya adalah hubungan antara negara Indonesia dengan warga negaranya yang kebetulan bertugas di lembaga internasional.
Warga Negara Indonesia yang diberikan amanah untuk bertugas di lembaga internasional, tentu adalah warga Negara yang taat dan patuh kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, mempunyai rasa kebangsaan (nasionalisme) yang tinggi, selalu mencintai Indonesia dan ingin selalu menjadi bagian yang berkontribusi dalam pembangunan bangsa dan negara, serta menjadi salah salah putra/putri terbaik bangsa Indonesia.
Sementara disisi yang lain, dalam hukum Internasional terdapat konsep teori monism dengan primat hukum nasional, Pasal 18 huruf h Undang Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional mengatur bahwa perjanjian internasional berakhir apabila terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional, dan tentunya terdapat suatu nilai-nilai keadilan yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia dalam implementasi Undang-Undang Pajak Penghasilan bahwa setiap terdapat tambahan ekonomis merupakan objek pajak penghasilan.
Jika kita memperhatikan hal tersebut di atas, tentu warga negara Indonesia yang diberikan amanah untuk bertugas di lembaga internasional adalah warga negara yang selalu bahagia bila bisa mendapatkan kesempatan untuk menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membayar pajak sebagai wujud partisipasinya bergotong-royong membangun Indonesia. Karena itu otoritas pajak dan otoritas regulator perpajakan perlu memfasilitasi warga Negara yang bertugas di lembaga internasional dalam melaksanakan (hak dan kewajiban) perpajakannya khususnya atas penghasilan yang diperoleh dari lembaga internasional, dengan memperhatikan kebijakan, kebajikan dan regulasi di bidang perpajakan.Â
Gagasan cara berhukum pajak bagi warga negara Indonesia yang bertugas di lembaga internasional tersebut, pada hemat kami sejalan dengan cara berhukum bangsa Amerika Serikat ketika mulai membangun bangsa dan negaranya dengan penuh semangat. Kata Prof Dr Satjipto Rahardjo, bahkan kala itu Mahkamah Agung Amerika banyak membuat putusan yang monumental untuk membantu pembangunan Amerika dengan berbagai cara termasuk melakukan berbagai rule breaking (terobosan hukum).