[caption id="" align="aligncenter" width="528" caption="Ilustrasi/kompasiana (shutterstock)"][/caption] Pada hari Kamis, tanggal 29 Mei, 2014, Penulis diundang untuk menghadiri Konferensi Nasional Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) XXV, di Pontiankl, Kalimantan Barat. Pada kesempatan ini, penulis menjadi pembicara bersama dengan pembicara lainnya yang berasal dari BPJS, Kemenkes dan PDGI. Penulis diundang Panitia Konas PDGI untuk menyampaikan Review Penyelenggaraan JKN dari sudut pandang Pengamat.Konas yang dihadiri oleh lebih dari 1000 Drg yang berasal dari34 propinsi dan lebih dari 330an pimpinan cabang PDGI seluruh Indonesia.
Pada Panel diskusi, penulis mendapat giliran terakhir untuk menyampaikan makalah dengan judul: Masalah Implementasi JKN oleh BPJS. Pada sesi diskusi, peserta diberikan kesempatan untuk beri komentar dan bertanya. Tampak, peserta sangat antusias menpertanyakan tentang nilai kapitasi Drg sebesar Rp 2000,-/bulan yang sangat membuat mereka galau. Sejumlah peserta menyampaikan ketidak wajaran nilai kapitasi yang diberikan kepada Drg. Beberapa pertanyaan dan pernyataan yang disampaikan peserta;
Bagaimana Kemenkes dan BPJS menghitung kapitasi Drg Rp 2000,-/bulan? Kok bisa lebih murah dari ongkos parkir? Bagaimana ngitungnya? Bagaimana Drg dapat mendukung JKN kalau dibayar Rp 2000,-? Bukankah ini bentuk penghinaan terhadap profesi Drg?
Malahan ada yang lebih sarkastis, kapitasi sama dengan ongkos untuk bertandas! Lihat artikel berikut. Memang bisa dipahami betapa galaunya teman2 sejawat Drg terhadap kebijakan tarif kapitasi Drg yang akan ikut jaringan PPK1 oleh Kemenkes dan BPJS ini. Hal ini bisa dimengerti karena kurangnya informasi konsep pembayaran kapitasi itu sendiri. Pada pihak lain, BPJS juga ada masalah ketika menerapkan sistem ini tidak menggunakan law large number (hukum bilangan besar) yang menjadi prasyarat berlakunya sistem kapitasi. Dengan demikian, tidaklah heran; bagaimana carut marut sistem pembayaran kapitasi Drg pada program JKN oleh BPJS. Praktik Drg swasta yang baru akan joint dengan BPJS, tidak akan sanggup berkerja sama karena dapat dipastikan merugi.
Apakah konsep Pembayaran Kapitasi itu?
Pada artikel pada tanggal 19 Mei, 2014 dengan judul: Kenapa Operasional BPJS Kalut? Untuk jelasnya pembaca dapat melihat disini.
Wajarkah Rp.2000,-/bulan kapitasi Drg?
Kalau law large number diterapkan dengan baik oleh BPJS maka nilai kapitasi Rp 2000,-/bulan sudah cukup baik. Bagaimana ngitungnya? Misalkan, minimal peserta yang diberikan pada Drg praktik swasta adalah 10.000 orang. Maka, Drg dapat pembayaran dimuka sebesar Rp 2000 dikali 10.000 peserta = Rp 20.000.000/bulan, cukup besar bukan? Untuk pembayaran sebesar itu diperkirakan Drg akan mendapat kunjungan peserta sekitar 1% sd 1,5% per bulan (perkiraan angka utilisasi pelayanan Drg/bulan pada PT JAMSOSTEK, JAMKESMAS, PT ASKES, dan klinik swasta pada perusahaan). Artinya, setiap bulan Drg akan mendapat kunjungan = 10.000 peserta dikali 1% sd 1,5% per bulan = 100 peserta/bulan sd 150 peserta/bulan. Berapa Drg dibayar untuk setiap kunjungan? Mari kita hitung, Rp 20.000.000,-/bulan dibagi 100 sd 150 peserta/bulan = Rp 200.000,- sd Rp 133.000,-/kunjungan. Cukup wajarkah? Secara umum dapat diterima oleh Drg sepanjang minimal peserta minimal 10.000 orang. Tentunya, bagi sejumlah kecil Drg yang praktik didaerah mahal dan biasa mendapat bayaran 2 atau 3 kali lipat atau lebih dari harga tersebut jadi tidak menarik. Apabila, ada Drg yang tidak mau joint dengan BPJS ya tidak apa2. Karena yang berlaku hukum: any willing provider, kalau tidak mau joint dengan BPJS tidak apa2, bebas kok. Siapa yang merasa masih untung dan memenuhi syarat silahkan joint, begitulah hukum yang berlaku secara universal. Masalahnya apakah law large number sudah diterapkan oleh BPJS dengan benar? Ini masalah kuncinya! Ada anomali sistem kapitasi disini!
Kapitasi BPJS, siapa yang untung?
Tentunya mudah ditebak oleh pembaca yaitu PPK1 yang mendapat peserta dalam jumlah besaar! Puskesmas pemerintahlah yang paling beruntung dengan sistem kapitasi BPJS karenamendapat peserta antara 30.000 peserta sd 100.000 peserta. Makin padat penduduk, makin tinggi jumlah peserta pada puskesmas. Pendapatan puskesmas dari kapitasi peserta BPJS diperkirakan Rp 60 juta/bulan sd Rp 600 juta/bulan. Suatu pendapatan yang sangat besar bukan? Untuk puskesmas di kota2 besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota2 besar lainnya pendapatan sekitar itu suatu yang besar. Khusus untuk Jakarta, semua puskesmas dapat menerima langsung dana tersebut karena puskesmas sudah berbentuk BLUD. Disamping itu, puskemas, alat kerja, fasilitas milik pemerintah dan SDM juga masih digaji oleh pemerintah, maka pendapatan sebesar itu sangat besar. Puskesmas bagaikan dapat durian runtuh! Artinya, puskesmas mendapat keberuntungan yang sangat besar dengan kapitasi yang anomali ini.Tapi bagaimana mutu pelayanan?
Pelayanan kedokteran gigi dasar yang diberikan pada pasien yaitu tambal, cabut dan scalling karang gigi sedangkan odontectomy (bedah gigi) dirujuk ke RS. Dengan jumlah peserta antara 30.000 peserta sd 100.000 peserta dan angka kunjungan 1% sd 1,5% per bulan maka jumlah kunjungan ke puskesmas adalah 300 kunjungan/bulan sd 1000 kunjungan peserta. Berapa jumlah pasien per hari? Bila hari kerja 20 hari/bulan (dipotong hari cuti, libur nasional dan ijin serta lain2), maka kunjungan peserta adalah 15 kunjungan/hari sd 50 kunjungan/hari. Kalau, Drg puskesmas hanya 1 orang maka maksimal Drg hanya dapat mengobati 15 pasien/hari. Sedangkan, kalau pasien 50/perhari dibutuhkan 3 orang Drg dengan 3 unit dental chair+instrumen+lain2. Untuk menjaga kualitas pelayanan, sebaiknya puskesmas dibatasi jumlah peserta maksimal 30.000 peserta. BPJS harus mengambil kebijakan membatasi jumlah peserta puskemas sesuai dengan SDM dan fasilitas dan alat kerja. Tampaknya, BPJS sampai saat ini tidak memperhatikan mutu layanan kesehatan gigi dengan membiarkan peserta puskesmas dengan jumlah berlebihan dibandingkan dengan SDM dan fasilitas dan alat kerjanya.
Kasus Puskesmas DKI Jakarta. Peserta JKN mendapatkan pelayanan gigi dasar yaitu tambal dan cabut saja. Sedangkan tindakan scaliling peserta harus bayar Rp 10.000,-/kunjungan. Untuk tindakan odontectomy tidak termasuk biaya kapitasi. Pasien biasanya dirujuk ke RS. Untuk tambalan bahan Fuji peserta ditarik biaya Rp 25.000,-/tambalan, sedangkan untuk tambalan menggunakan Sinar(Resin Komposit aktivasi Sinar) peserta ditarik biaya Rp 90.000,-/tambalan. Masalahnya apakah penarikan biaya untuk tindakan tersebut legal? Karena semua bahan tambal dibeli dengan APBD alias uang berasal dari pajak! Rasanya penarikan biaya untuk tambal gigi peserta JKN adalah ilegal. Apakah Pemda DKI dan BPJSsudah mengetahui masalah ini? Apakah ini bukan bagian dari tindakan korupsi juga? Apakah kasus seperti ini terjadi di puskesmas seluruh Indonesia? Sudah waktunya perlu dilakukan tindakan koreksi, sebelum berurusan dengan penegak hukum!
Kapitasi BPJS, siapa yang buntung?
BPJS kontrak Drg praktek swasta dengan nilai kapitasi Rp 2000,-/bulan. Bagi penulis nilai kapitasi cukup menarik sepanjang jumlah peserta besar sesuai dengan law large number. Seharusnya, jumlah peserta Drg praktik swasta minimal 5000 sd 10.000 orang sehingga Drg menerima pembayaran setiap bulan sekitar Rp 10 jt/bulan sd Rp 20 jt/bulan. Tapi ini hanya teori, karena BPJS kontrak Drg mulai dengan jumlah nol peserta orang. Drg dianjurkan untuk mencari peserta sendiri alias marketing sendiri yang bertentangan dengan etika profesi. Bayangkan, kalau peserta hanya 10 orang dibayar kapitasi Rp 2000,-/bulan,maka DRG hanya mendapat bayaran Rp 20.000,-/bulan! Kalau 1 orang saja berobat ke Drg dengan minimal biaya Rp 100.000,-, maka Drg sudah merugi Rp. 80.000,- pada bulan tsb. Bagaimana kalau peserta lain juga berkunjung? Makin merugilah! Disamping itu, beban Drg harus membayar kontrak klinik, utilitas, supplai, dental chair dan gaji perawat. Mau untung jadi buntung.Dengan kata lain, Drg mensubsidi BPJS! Terbalik-balik ya?Inilah yang dimaksud anomali sistem kapitasi BPJS! Seharusnya BPJS menerapkan law large number dimana semua Drg dibayar dengan minimal mulai dengan 3000 peserta atau fee for services kalau belum mencapai jumlah peserta tersebut. Kebijakan ini, baru dapat Drg berpartisipasi untuk mendukung JKN. Sekarang klinik yang dapat joint BPJS hanya klinik yang dahulu berkerjasama dengan PT. JASMSOSTEKdengan jumlah peserta minimal 5000 orang.
Siapa yang paling malang? Ya, Pesertalaaah!
Peserta terpaksa berobat puskesmas dengan antrian pasien gigi yang panjang. Drg juga manusia, kalo pasien banyak banget terpaksa berkerja dengan cepat dan mengorbankan kualitas. Pasien hanya sekedar diobati tidak tuntas sehingga terjadi kunjungan berulang yang tidak perlu dan ini tentunya merugikan peserta. Peserta juga diharuskan bayar untuk tindakan scalling karang gigi dan tambalan bahan Fuji danResin Komposit aktivasi Sinar dengan biaya yang cukup tinggi! Ini tindakan illegal! Kepada pihak yang berwenang, mohon koreksi tindakan yang membebankan peserta JKN. Angka rujukan pasien ke RS akan tinggi, untuk mengurangi beban kerja yang tinggi di poli gigi puskesmas. Peserta mendapatkan pelayanan dengan mutu yang diragukan. Ini dapat klasifikasikan sebagai abuseterhadap hak-hak pasien untuk mendapatkan pelayanan yang telah diperjanjikan. Bagaimana BPJS? Jangan berpangku tangan! Buat kebijakan yang melindungi peserta!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H