[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi - Korban yang meninggal akibat ledakan gudang amunisi Pasukan Katak TNI AL di Pondok Dayung, Tanjung Priok, Jakarta Utara dibawa ke RS TNI AL Mintohardjo, Jakarta Pusat, Rabu (5/3). Ledakan tersebut mengakibatkan 87 orang terluka dan seorang meninggal dunia. (KOMPAS/AGUS SUSANTO)"][/caption]
Inilah prediksi kejadian yang jadi concern penulis ketika diundang oleh PT Askes pada peresmian Media Center tanggal 3, Desember, 2013. Pada kesempatan tersebut, penulis diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat berkaitan akan dileburnya PT Askes menjadi BPJS Kesehatan. Salah satu kebijakan yang penulis kritisi adalah diperbolehkannnya peserta JKN TNI dan POLRI untuk menggunakan pelayanan kesehatan sipil. Kebijakan ini bertentangan dengan kebijakan pelayanan kesehatan universal di mana pelayanan kesehatan tentara dan polisi bersifat eksklusif. Sedunia,pasien tentara dan polisi hanya berobat pada pada RS tentara dan polisi saja, kecuali berobat dengan menggunakan out pocket bisa menggunakan pelayanan kesehatan sipil dan swasta.
Apa yang ditakutkan penulis?
Saya menyampaikan adanya potensi terjadi penganiayaan atau pemukulan kepada tenaga kesehatan sipil ketika melayani peserta JKN tentara atau polisi. Hal ini terjadi bila ada ketidakpuasan ataupun salah persepsi di pihak pasien terhadap dokter maupun perawat yang bekerja. Tentara dan polisi yang dilatih setiap hari menggunakan sangkur dan senjata api akan sangat mudah melakukan kekerasan terhadap pihak yang lemah apalagi di RS sipil. Penulis juga sampaikan pada kondisi gawat darurat akan mudah terjadi konflik antara pasien dan keluarga dengan tenaga pelayanan kesehatan.
Konflik antara pasien tentara dan polisi dengan tenaga kesehatan mempunyai potensi yang besar menimbulkan benturan fisik. Sebagai akibatnya, dapat dipastikan pihak yang lemah (perawat dan dokter) akan menjadi korban atas perilaku kurang atau bawah sadar dari oknum-oknum tentara maupun polisi. Pada kesempatan tersebut, saya dengan tegas menolak kebijakan yang membolehkan peserta JKN tentara dan polisi berobat pada RS sipil publik maupun swasta. Hal ini, dimaksudkan penulis untuk mencegah kejadian yang tidak diharapkan kepada tenaga kesehatan RS kita.
Dokter digebuk pakai botol oleh oknum tentara?
Apa yang ditakutkan penulis benar-benar terjadi. TEMPO.CO, Jakarta mengabarkan: Kapten Arief, dokter tentara di Skuadron Pendidikan 102 Komando Pendidikan TNI Angkatan Udara Pangkalan Udara Adi Sutjipto, Yogyakarta, dikeroyok oleh Letnan Satu D dan delapan perwira berpangkat Letnan sampai Mayor, Rabu, 12 Maret 2014, lalu. Mereka memukuli Dr. Arief di bagian tengkuk, perut, dan anggota badan lainnya menggunakan botol teh. Akibatnya, Dr. Arief mengalami luka parah pendarahan di bagian kepala serta luka dalam di liver dan ginjal. Ia sekarang dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Angkatan Udara Hardjolukito, Yogyakarta. Mengerikan ya...?! Ini sesama militer saja terjadi penganiayaan; bagaimana terhadap dokter sipil? Akan lebih mengerikan...!
Kenapa bisa terjadi?
Sayangnya berita TEMPO tidak menggali penyebab terjadinya penyiksaan terhadap dr. Arief oleh 9 oknum perwira TNI. Penulis mendapat informasi dari teman sejawat dr. Arief yang menjenguk korban di RS. Kejadian dimulai ketika Lettu D diperiksa Treadmill Stress Test ditemukan kecurigaan adanya Iskhemia. Dirujuklah Lettu D untuk pemeriksaan lebih lanjut ke center terkait. Dokter di RS itu memesan Cardiac CT Scan untuk menyingkirkan kemungkinan Penyakit Jantung Koroner. Tindakan CT scan dengan kontras ini biayanya sekitar 3,5-4 jutaan, masalahnya pemeriksaan ini hanya dihargai Rp 600.000,- oleh tarif INA CBG.
Untuk mengakali hal itu terpaksa RS minta Lettu D dirawat-inapkan biar agar RS tidak merugi. Gara-gara hal tersebut jadi lamalah itu pemeriksaan bisa dikerjakan. Sementara itu pada tanggal 17 Maret (5 hari lagi dari tanggal pemukulan) nama peserta pelatihan sudah harus ditentukan. Karena hal itu Lettu D menginginkan agar pemeriksaannya bisa dikerjakan saja segera di RS Swasta biar cepat dan namanya di-clear-kan dari masalah kemungkinan penyakit jantung. Tapi ngga bisalah, itu di luar protap pemeriksaan RS. Jadinya dr. Arief disidang gelap internal oleh 9 perwira karena dianggap mempersulit Lettu D dan babak belurlah korban hingga gegar otak dsb.. Korban terpaksa dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Angkatan Udara Hardjolukito, Yogyakarta.
Berdasarkan informasi, teman sejawat yang membesuk dr. Arief, akar masalah adalah pertama, Lettu D merasa dipersulit oleh dr. Arief berkaitan dengan pemeriksaan fisiknya. Hasil pemeriksaan diperlukan segera untuk prasyarat pendidikan sertifikat brevet penerbang pesawat jet yang pada akhirnya untuk kenaikan pangkat Lettu D. Di lain pihak dr. Arief tidak bisa memberikan surat keterangan sehat sebelum melakukan Cardiac CT Scan terhadap kondisi jantung Lettu D. Kedua, Lettu D meminta untuk diberi surat keterangan sehat segera yang melanggar prortap RS yang tidak bisa diluluskan oleh dr. Arief. Ketiga, sudah dirawat inap karena alasan tarif INA CBG yang rendah, tapi surat kesehatan belum juga jelas. Sejumlah faktor tersebut, dr. Arief dikeroyok dan dipukuli dengan botol teh oleh 9 tentara di kantin RS Tentara! Luaaar biasa mengerikan bukan...?
Pada kesempatan ini penulis sekali lagi menyampaikan: “BPJS harus mengubah kebijakan yang membolehkan tentara dan polisi peserta JKN dapat menggunakan pelayanan kesehatan sipil publik atau swasta” Kembalikan tentara dan polisi peserta JKN hanya berobat pada RS TNI maupun POLRI saja! Cegah kejadian yang buruk pada perawat dan dokter di RS sipil publik maupun swasta!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H