Mohon tunggu...
YASIR
YASIR Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

Menjadi jembatan untuk belajar dan berbagi pengetahuan, mengajak masyarakat untuk terus berkembang dengan pemahaman yang lebih luas tentang dunia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Paradoks Religius tapi Nakal, Ketika Keimanan Hanya Menjadi Simbol

3 Februari 2025   07:07 Diperbarui: 3 Februari 2025   12:02 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara paling religius di dunia. Survei demi survei menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat percaya bahwa moralitas tidak bisa dilepaskan dari agama. Bagi banyak orang, agama bukan sekadar keyakinan pribadi, tetapi juga menjadi penanda identitas dan standar moral yang harus dipegang teguh. Namun, di tengah tingginya angka religiusitas ini, kita juga menghadapi ironi yang tak terbantahkan: keimanan yang tampak di permukaan tidak selalu sejalan dengan perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Mengaku Religius, Tapi...

Berapa banyak dari kita yang mengenal seseorang yang sangat rajin beribadah---shalat lima waktu, mengikuti sunnah, mengenakan pakaian syar'i---tetapi di saat yang sama dengan mudahnya membuang sampah sembarangan, berkata kasar di media sosial, atau menilai orang lain tanpa memahami konteksnya? Agama mereka tampak kuat dalam ritual, tetapi lemah dalam aplikasi sosialnya.

Ada yang rajin berdzikir, tetapi sekaligus mudah menghakimi orang lain. Ada yang fasih mengutip ayat suci, tetapi juga aktif menyebarkan hoaks tanpa berpikir panjang. Ada yang mengaku ingin hidup sesuai dengan nilai Islam, tetapi dalam praktiknya justru menampilkan perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar agama: kejujuran, kasih sayang, dan kepedulian terhadap sesama.

Ketika Religiusitas Hanya Menjadi Identitas

Fenomena ini mencerminkan bagaimana agama sering kali lebih dijadikan sebagai identitas sosial ketimbang sebagai pedoman hidup yang benar-benar dipraktikkan. Banyak orang lebih fokus pada "terlihat religius" daripada benar-benar memahami dan mengamalkan esensi agama itu sendiri.

Di media sosial, misalnya, kita bisa melihat bagaimana orang yang mengaku beriman dengan mudahnya mencaci maki atau menghakimi orang lain hanya karena perbedaan pandangan. Sebagian merasa memiliki otoritas moral lebih tinggi karena mereka menjalankan ritual agama dengan lebih baik. Tapi, apakah agama hanya sebatas ritual?

Jika seseorang shalat lima waktu tetapi tetap merugikan orang lain, apakah ibadahnya benar-benar membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih baik? Jika seseorang memakai pakaian yang sesuai dengan tuntunan agama tetapi tetap tidak jujur dalam pekerjaannya, apakah itu mencerminkan keimanan yang sejati?

Pergeseran Nilai di Tengah Masyarakat

Salah satu alasan mengapa paradoks ini terus berkembang adalah karena banyak orang melihat agama sebagai sesuatu yang harus ditunjukkan kepada orang lain, bukan sebagai perjalanan spiritual yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita lebih takut dicap "kurang religius" oleh manusia daripada benar-benar peduli apakah kita sudah menjadi pribadi yang baik di mata Tuhan.

Ada pula kecenderungan di mana nilai-nilai moral yang seharusnya menjadi inti dari ajaran agama mulai bergeser. Agama lebih sering dipakai untuk menghakimi orang lain ketimbang untuk melakukan introspeksi. Lebih banyak orang sibuk menilai dosa orang lain daripada memperbaiki diri sendiri. Lebih banyak yang ingin "memperbaiki" masyarakat dengan kata-kata kasar daripada dengan teladan nyata.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Perenungan ini bukan untuk mengatakan bahwa ibadah ritual itu tidak penting, tetapi lebih kepada mengingatkan bahwa ibadah seharusnya membentuk karakter, bukan sekadar menjadi simbol. Agama bukan hanya soal aturan yang harus diikuti secara mekanis, tetapi juga tentang bagaimana kita memperlakukan sesama manusia dan lingkungan.

Sebelum mengkritik orang lain, sudahkah kita bercermin? Sebelum merasa lebih baik dari orang lain karena lebih taat beribadah, sudahkah kita menerapkan nilai-nilai agama dalam tindakan nyata? Sebelum sibuk menyebarkan ajaran, sudahkah kita benar-benar menjalankannya dengan sepenuh hati?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun