Sistem pendidikan Indonesia kembali menjadi sorotan. Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan, hanya sekitar seperempat hingga sepertiga guru di Indonesia yang dinyatakan layak mengajar. Fakta ini menunjukkan bahwa kualitas pendidikan kita membutuhkan perbaikan besar-besaran.
Sistem Pendidikan yang Memaksa
Salah satu akar masalah dalam sistem pendidikan kita adalah pendekatan yang memaksa siswa untuk mempelajari segala sesuatu tanpa mempertimbangkan minat atau bakat mereka. Mata pelajaran seperti matematika, fisika, dan kimia, yang sering kali tidak diminati siswa, tetap dipaksakan tanpa memberikan ruang analisis atau pendekatan yang relevan dengan kehidupan mereka.
Misalnya, seorang siswa yang bercita-cita menjadi atlet sepak bola tetap ditekan untuk mendapatkan nilai tinggi di mata pelajaran yang tidak relevan dengan mimpinya. Tidak jarang, guru bahkan menegur siswa dan orang tuanya dengan komentar seperti, "Kamu jangan hanya main bola terus, nilai kamu harus bagus di semua pelajaran." Pendekatan seperti ini tidak hanya mematikan potensi siswa tetapi juga menciptakan pola pikir bahwa semua hal harus sesuai dengan standar yang dipaksakan.
Pola Pikir yang Dibentuk Sistem
Sistem pendidikan yang otoriter menciptakan generasi yang cenderung "ikut-ikutan." Anak-anak diajarkan untuk patuh pada otoritas tanpa diberi ruang untuk berpikir mandiri atau menentukan tujuan hidup mereka sendiri.
Akibatnya, ketika mereka lulus, banyak yang kehilangan arah. Beberapa memilih untuk bermalas-malasan, sementara yang lain hanya mengikuti tren pekerjaan tanpa mempertimbangkan minat dan kemampuan pribadi. Hal ini menjadi penghambat bagi generasi muda untuk bersaing di dunia global, karena mereka dibentuk untuk menjadi pengikut, bukan pemimpin.
Tes Guru yang Tidak Relevan
Ironisnya, kualitas para pendidik juga dipertanyakan. Tes yang diberikan kepada guru sering kali mengukur hal-hal faktual yang tidak relevan dengan kemampuan mengajar mereka. Sebagai contoh, pertanyaan seperti "Berapa kali kita harus minum air dalam sehari?" kerap muncul. Namun, jawaban pertanyaan ini sebenarnya tergantung pada kebutuhan individu, sehingga tidak ada angka pasti yang dapat dijadikan acuan.
Tes yang tidak relevan ini menunjukkan bahwa bahkan proses seleksi guru belum dirancang untuk mengukur kompetensi secara holistik. Jika proses rekrutmen saja bermasalah, bagaimana kita bisa berharap pendidikan di Indonesia menghasilkan generasi yang berkualitas?
Solusi dan Refleksi
Dalam sebuah podcast yang dapat Anda tonton melalui tautan ini, seorang influencer sekaligus guru honorer membahas berbagai permasalahan dalam pendidikan Indonesia. Ia juga memberikan solusi menarik, seperti pendekatan berbasis bakat dan minat siswa, serta perlunya reformasi besar-besaran dalam pelatihan dan rekrutmen guru.
Salah satu poin penting yang dibahas adalah perlunya memperbaiki sistem penilaian, baik untuk siswa maupun guru. Pendidikan harus memberikan ruang bagi siswa untuk berkembang sesuai minat mereka, tanpa tekanan untuk menjadi seragam. Guru juga harus diberi pelatihan yang relevan agar mampu menginspirasi siswa.
Kesimpulan
Statistik tidak pernah berbohong. Ketika hanya seperempat hingga sepertiga guru di Indonesia dinyatakan layak mengajar, itu adalah tanda bahwa kita harus mengkaji ulang seluruh sistem pendidikan, mulai dari kurikulum hingga pelatihan guru. Pendidikan yang baik tidak hanya mencetak siswa yang pintar secara akademis, tetapi juga mempersiapkan mereka untuk menjadi individu yang kreatif, mandiri, dan berdaya saing.