Musibah adalah bagian dari kehidupan yang tidak dapat dihindari. Ketika kebakaran besar melanda Los Angeles, banyak yang memandangnya sebagai balasan atas perilaku bangsa tersebut, bahkan ada yang mengaitkannya dengan kehendak Tuhan. Namun, apakah bijak jika kita menghakimi bencana di negeri lain tanpa terlebih dahulu menilai diri kita sendiri?
Indonesia, sebagai negara yang kerap mengklaim diri religius dan berpegang teguh pada nilai-nilai luhur, masih menyimpan banyak ironi. Kita berbicara tentang nilai agama, tetapi sering kali itu hanya menjadi simbol tanpa substansi. Misalnya, perilaku masyarakat yang masih membuang sampah sembarangan, berbuat korupsi, atau bersikap intoleran terhadap perbedaan. Semua ini adalah bentuk musibah yang tak kalah berbahaya dibanding kebakaran di Los Angeles.
Kita sering melihat penggunaan agama untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kemaslahatan bersama. Ketika seseorang tertangkap melakukan korupsi, ia tiba-tiba tampil religius di depan umum, mengenakan atribut keagamaan, seolah-olah itu akan menghapuskan kesalahannya. Padahal, nilai-nilai agama yang sejati tidak hanya soal simbol, tetapi tentang bagaimana perilaku kita mencerminkan ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, masalah moralitas dan sosial di Indonesia juga memprihatinkan. Kemiskinan masih menjadi realitas yang dihadapi oleh jutaan rakyat. Banyak anak putus sekolah karena tidak mampu membayar biaya pendidikan. Di sisi lain, ada masyarakat yang hidup mewah tanpa memedulikan ketimpangan di sekitarnya. Bukankah ini juga bentuk musibah?
Tidak hanya itu, perilaku kita terhadap lingkungan menunjukkan betapa kurangnya tanggung jawab kolektif. Banjir, kebakaran hutan, dan polusi sering kali adalah akibat dari ulah manusia sendiri. Kita suka menyalahkan pemerintah, tetapi enggan untuk melihat bahwa kebiasaan kita sehari-hari, seperti membuang sampah sembarangan, turut menyumbang kerusakan ini.
Lebih jauh lagi, kurangnya kemampuan berpikir kritis juga menjadi tantangan besar bagi masyarakat kita. Ketika dihadapkan pada informasi baru, banyak dari kita lebih suka menerima begitu saja tanpa memverifikasi kebenarannya. Ini tercermin dari maraknya hoaks yang beredar di media sosial, yang justru sering kali diperkuat oleh mereka yang seharusnya menjadi teladan. Jika kita tidak mulai memperbaiki pola pikir ini, bagaimana kita bisa menghadapi tantangan yang lebih besar di masa depan?
Musibah di Los Angeles seharusnya menjadi momen refleksi, bukan bahan ejekan. Jika kita terus-menerus sibuk menghakimi bangsa lain, kita akan kehilangan kesempatan untuk memperbaiki diri. Apakah kita sudah benar-benar mencerminkan nilai-nilai agama dan budaya luhur yang kita banggakan? Atau, kita hanya menggunakannya sebagai kedok untuk menutupi kekurangan kita?
Indonesia tidak akan berubah hanya dengan simbol-simbol religius atau klaim moral. Perubahan harus dimulai dari setiap individu: dari cara kita bersikap terhadap lingkungan, bagaimana kita memperlakukan sesama, hingga bagaimana kita membangun pola pikir yang kritis dan terbuka.
Musibah bukan hanya tentang bencana alam; kemiskinan, intoleransi, korupsi, dan perilaku moral yang buruk juga adalah bentuk musibah yang harus kita atasi. Daripada sibuk menilai bangsa lain, mari kita introspeksi diri. Sudahkah kita menjadi bangsa yang benar-benar religius, atau hanya berhenti di level simbol?
Renungan ini bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk mengajak kita semua berpikir lebih dalam tentang langkah apa yang harus kita ambil agar Indonesia menjadi bangsa yang lebih baik, bukan hanya di mata dunia, tetapi juga di mata kita sendiri.