Budaya mistis telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia selama berabad-abad. Kisah-kisah tentang orang sakti, benda-benda bertuah, atau kekuatan supernatural lainnya sering kali diwariskan dari generasi ke generasi. Namun, ketika kepercayaan ini masuk ke ranah pendidikan, terutama yang disampaikan oleh guru agama, hal ini memunculkan pertanyaan besar: Apakah budaya mistis ini masih relevan, atau justru menjadi beban yang menghalangi perkembangan pola pikir kritis?
Budaya Mistis di Ruang Kelas
Di beberapa daerah, masih banyak ditemukan guru agama yang percaya dan bahkan mengajarkan cerita-cerita mistis sebagai fakta. Kisah tentang orang yang sakti mandraguna, pedang yang dapat membunuh musuh tanpa menyentuhnya, atau benda-benda keramat yang memiliki kekuatan luar biasa sering kali diceritakan dengan nada serius, bukan sekadar sebagai folklore atau kisah moral.
Alih-alih membantu siswa memahami nilai-nilai agama dengan pendekatan rasional, guru seperti ini justru memperkuat kepercayaan irasional. Siswa yang seharusnya diajarkan untuk berpikir kritis dan logis malah diarahkan untuk menerima hal-hal yang sulit dijelaskan secara ilmiah tanpa mempertanyakan lebih lanjut. Ini tentu bertentangan dengan tujuan pendidikan modern yang berfokus pada pengembangan kemampuan analisis dan penyelesaian masalah.
Mengapa Masih Dipercaya?
Budaya mistis yang kuat di masyarakat Indonesia sering kali berakar pada dua hal: tradisi dan otoritas. Pertama, cerita mistis dianggap sebagai bagian dari warisan budaya yang harus dijaga, meskipun konteks zaman sudah berubah. Kedua, otoritas guru agama di mata siswa dan masyarakat membuat pandangan mereka cenderung diterima tanpa kritik. Jika guru menyampaikan kepercayaan mistis sebagai fakta, siswa kemungkinan besar akan menerimanya begitu saja.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa kisah mistis mungkin berasal dari salah persepsi atau bahkan halusinasi yang dianggap sebagai kenyataan. Sebagai contoh, cerita tentang pedang yang dapat membunuh musuh tanpa menyentuhnya sering terdengar dalam kisah-kisah penjajahan. Walau terdengar heroik, kisah seperti ini sulit diterima akal sehat dan lebih mirip dengan dongeng daripada fakta historis.
Dampak pada Pola Pikir Kritis
Kepercayaan pada hal mistis yang diajarkan di sekolah berpotensi menghambat perkembangan pola pikir kritis siswa. Pola pikir kritis mengharuskan seseorang untuk mempertanyakan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi sebelum menerimanya sebagai kebenaran. Jika siswa terbiasa menerima cerita mistis tanpa pertanyaan, mereka mungkin akan kesulitan mengembangkan keterampilan ini.
Lebih parah lagi, kepercayaan ini bisa meluas ke bidang lain dalam kehidupan mereka. Misalnya, siswa mungkin cenderung percaya pada informasi yang tidak berdasar atau hoaks karena kurang terbiasa memverifikasi fakta. Dalam jangka panjang, hal ini dapat berdampak pada kualitas sumber daya manusia Indonesia yang seharusnya mampu bersaing di tingkat global.