Pak Anis selalu menekankan pentingnya berpikir kritis sebagai kemampuan mendasar yang harus dimiliki oleh setiap individu. Sayangnya, kemampuan ini sering kali diabaikan karena dianggap merepotkan atau bahkan tidak relevan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam banyak kesempatan, beliau memberikan contoh sederhana namun penuh makna: "Kita semua tahu bahwa jari manusia itu lima. Tapi, pernahkah kita bertanya, untuk apa kita tahu hal itu? Kenapa kita menerimanya begitu saja tanpa pernah mempertanyakan lebih lanjut?"
Pernyataan ini menyoroti sebuah fenomena umum di masyarakat: kita cenderung menerima segala sesuatu apa adanya tanpa mempertanyakan alasan di baliknya. Contoh lain yang sering disampaikan oleh Pak Anis adalah terkait motif batik. Ketika ditanya kenapa batik dibuat dengan motif tertentu, jawaban yang sering muncul adalah, "Ya, dari dulu memang seperti itu." Pola pikir seperti ini mencerminkan kebiasaan kita untuk menerima tradisi dan kebiasaan tanpa berusaha memahami atau mengeksplorasi lebih jauh makna dan potensinya. Padahal, jika kita mau bertanya dan menggali lebih dalam, kita bisa menemukan inovasi baru atau bahkan memberikan nilai tambah pada tradisi tersebut.
Memulai dengan Pertanyaan "Why?"
Pak Anis berbagi bahwa dalam setiap organisasi yang pernah ia pimpin, ia selalu memulai dengan pertanyaan sederhana namun mendalam: "Why?" Pertanyaan ini menjadi pintu masuk untuk mengevaluasi, memahami, dan mencari cara yang lebih baik dalam menjalankan berbagai hal. "Kenapa sesuatu dilakukan dengan cara tertentu? Apa alasan di balik keputusan tersebut? Apakah ada cara lain yang lebih baik?" Dengan pendekatan ini, terobosan-terobosan baru sering kali lahir. Berpikir kritis memaksa orang untuk keluar dari zona nyaman, mengatasi rasa takut salah, dan mencari jawaban yang lebih baik untuk masalah yang dihadapi.
Misalnya, dalam pengelolaan sebuah program pendidikan, pertanyaan "Why?" bisa membantu mengidentifikasi apakah metode yang digunakan masih relevan atau hanya diterapkan karena kebiasaan semata. Dari sini, perubahan yang lebih baik dapat dimulai, seperti mengadaptasi teknologi baru atau mendesain kurikulum yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa.
Guru Sebagai Penggerak Berpikir Kritis
Menurut Pak Anis, guru memegang peranan penting dalam menanamkan kebiasaan berpikir kritis di masyarakat. Namun, untuk dapat melakukannya, guru sendiri harus terlebih dahulu terbiasa berpikir kritis. Jika tidak, mereka justru akan merasa tidak nyaman berada di lingkungan yang penuh dengan pertanyaan dan diskusi kritis. Bahkan, mereka bisa menjadi defensif ketika dihadapkan dengan argumen-argumen yang berbeda dari pandangan mereka.
Pak Anis menekankan bahwa membiasakan guru berpikir kritis tidak hanya membantu mereka menjadi lebih adaptif, tetapi juga menciptakan lingkungan belajar yang lebih dinamis. Ketika guru terbiasa menghadapi pertanyaan sulit, mereka tidak akan melihatnya sebagai ancaman, melainkan sebagai peluang untuk belajar dan berkembang. Dalam jangka panjang, hal ini akan menciptakan siswa-siswa yang tidak hanya pintar secara akademis, tetapi juga memiliki kemampuan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan solusi.
Terobosan Dimulai dari Pertanyaan
Berpikir kritis bukanlah soal mencari-cari kesalahan, melainkan tentang mengasah kemampuan untuk bertanya, menganalisis, dan mencari solusi yang lebih baik. Dengan berpikir kritis, kita dapat melihat dunia dengan sudut pandang yang lebih luas. Misalnya, pertanyaan sederhana seperti, "Kenapa teknologi ini dirancang seperti ini?" dapat menjadi awal dari inovasi besar yang mengubah cara kita bekerja atau hidup.