Sebagai contoh:
- Jika seorang anak perempuan memilih untuk tidak berhijab meskipun orang tuanya sudah mengingatkan dengan baik, maka dosa itu adalah tanggung jawab si anak.
- Jika seorang anak laki-laki memilih jalan hidup yang menyimpang meskipun kakaknya sudah memberikan nasihat, dosa tersebut tetap menjadi tanggung jawab si anak laki-laki.
3. Mengapa Kesalahpahaman Ini Terjadi?
Kesalahpahaman seperti ini sering muncul karena masyarakat salah menginterpretasikan konsep tanggung jawab. Beberapa orang percaya bahwa jika seorang anggota keluarga melakukan dosa, maka dosa tersebut otomatis “ditanggung” oleh orang tua atau kakaknya. Pemikiran ini sering kali didasarkan pada anggapan emosional, bukan dalil agama.
Namun, Islam mengajarkan bahwa:
- Orang tua atau kerabat hanya bertanggung jawab jika mereka lalai dalam mendidik atau sengaja membiarkan kemaksiatan terjadi tanpa upaya untuk mencegah.
- Jika usaha mendidik sudah dilakukan dengan baik, maka dosa sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu yang melakukannya.
4. Apakah Dosa Bisa Ditransfer dalam Kasus Tertentu?
Dalam Islam, ada situasi di mana seseorang bisa secara tidak langsung terlibat dalam dosa orang lain, misalnya:
- Memfasilitasi Dosa: Jika seseorang menyediakan sarana atau mendukung terjadinya maksiat, seperti menyediakan tempat untuk minum-minuman keras atau mempromosikan perbuatan dosa.
- Tidak Menasihati: Jika seseorang punya kewajiban menasihati tetapi diam saja, maka ia bisa dianggap lalai. Misalnya, orang tua yang membiarkan anaknya tanpa upaya mengingatkan tentang aturan agama.
Namun, ini berbeda dengan “transfer dosa.” Orang yang memfasilitasi atau lalai akan dihitung atas perbuatannya sendiri, bukan atas dosa individu lain.
5. Pentingnya Menasihati dengan Bijak