agama sering kali dianggap sebagai sesuatu yang sakral, yaitu memiliki nilai kesucian yang tinggi dan dihormati sebagai panduan hidup. Namun, sakral dalam konteks ini bisa memiliki makna yang beragam. Pada dasarnya, sikap sakral terhadap agama menunjukkan penghormatan yang mendalam, karena agama mencakup ajaran-ajaran moral, etika, dan spiritual yang menjadi fondasi bagi kehidupan beragama. Namun, ketika sakralisasi agama berlangsung berlebihan hingga menganggapnya sebagai sesuatu yang sama sekali tak boleh dibahas atau dipertanyakan, inilah yang sering kali menimbulkan masalah. Sakralisasi yang terlalu tinggi bisa membuat agama dianggap tabu untuk didiskusikan, sehingga menjadi sangat sensitif jika ada perbedaan pandangan atau kritik. Hal ini berpotensi menghambat pemahaman yang lebih mendalam dan terbuka terhadap ajaran agama, serta memicu perpecahan dalam masyarakat.
Di banyak negara, termasuk di negeri kita,1. Perpecahan dalam Masyarakat
Ketika agama terlalu disakralkan, pembahasan tentang isu-isu keagamaan sering kali menjadi sangat sensitif. Orang cenderung merasa bahwa pandangan atau interpretasi mereka adalah satu-satunya yang benar, dan hal ini memicu perselisihan dengan pihak yang memiliki pandangan berbeda. Akibatnya, perpecahan antar kelompok atau golongan dalam masyarakat bisa menjadi semakin tajam, yang tentunya mengancam persatuan.
2. Kesulitan Mengatasi Konflik Sosial dan Agama
Agama seharusnya menjadi sumber perdamaian dan persatuan. Namun, jika isu-isu terkait agama tidak bisa dibahas dengan terbuka dan kritis, permasalahan sosial yang berkaitan dengan agama cenderung berlarut-larut. Sebagai contoh, ketika terjadi perbedaan pandangan mengenai aturan keagamaan tertentu, kurangnya ruang untuk berdialog akan membuat konflik tersebut sulit diatasi. Perbedaan yang tidak terselesaikan ini berpotensi menjadi masalah yang terus berulang dan merusak keharmonisan masyarakat.
3. Menghambat Pemikiran Kritis
Mensakralkan agama secara berlebihan juga bisa menghambat perkembangan pemikiran kritis di kalangan masyarakat. Dalam situasi seperti ini, orang sering kali takut untuk mengajukan pertanyaan atau berdiskusi secara terbuka karena takut dianggap menentang norma agama. Padahal, kemampuan untuk berpikir kritis dan mempertanyakan sesuatu sangat penting, terutama untuk memahami makna ajaran agama secara lebih dalam dan kontekstual. Ketakutan untuk berdiskusi atau bertanya hanya akan membuat kita semakin terjebak dalam pemahaman yang kaku dan sempit.
4. Memupuk Dogmatisme yang Membahayakan
Ketika agama terlalu disakralkan, ini bisa membuat masyarakat menjadi dogmatis---yaitu hanya berpegang pada satu pandangan tanpa mempertimbangkan perspektif lain. Dogmatisme bisa membuat seseorang merasa bahwa interpretasinya adalah yang paling benar dan menutup diri dari pendapat lain. Jika terus dibiarkan, pola pikir dogmatis ini bisa menyebabkan masyarakat mudah terpecah, bahkan dalam hal-hal kecil. Tanpa kemampuan untuk menerima perbedaan, masyarakat akan sulit mencapai kesatuan.
5. Menyebabkan Stagnasi Sosial dan Budaya
Agama memiliki kemampuan untuk memberikan arah bagi kehidupan sosial dan budaya. Namun, jika agama disakralkan hingga batas di mana ia tidak boleh dibahas secara terbuka, ini bisa menghambat kemajuan sosial dan budaya. Isu-isu penting yang memerlukan pembaruan atau penyesuaian, seperti keadilan sosial, hak-hak perempuan, atau tantangan perubahan zaman, akan sulit dibahas dalam konteks agama jika topik tersebut dianggap tabu. Pada akhirnya, ini akan mengakibatkan stagnasi atau kebekuan dalam masyarakat, yang tidak mampu berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.