Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali melihat fenomena di mana orang-orang lebih memilih untuk mengikuti kebiasaan, norma sosial, atau doktrin yang sudah lama ada, tanpa mempertanyakan esensi di baliknya. Hal ini tidak hanya terjadi pada individu, tetapi juga pada skala yang lebih luas—dalam masyarakat Indonesia, sering kali kita menemukan bahwa pemikiran kritis diabaikan demi mempertahankan "keamanan" dari kebiasaan lama. Namun, mengesampingkan kemampuan berpikir kritis memiliki dampak yang serius, baik bagi perkembangan individu maupun bagi kemajuan bangsa secara keseluruhan.
Dampak Mengesampingkan Pemikiran Kritis
1. Stagnasi Sosial dan Ekonomi.
Ketika mayoritas masyarakat hanya mengikuti kebiasaan atau ajaran yang sudah turun-temurun tanpa mempertanyakan relevansi atau efektivitasnya, inovasi dan kreativitas menjadi terhambat. Ini tidak hanya terjadi dalam pendidikan, tetapi juga dalam bidang ekonomi. Tanpa berpikir kritis, masyarakat cenderung terus-menerus melakukan hal yang sama, meskipun mungkin tidak lagi efektif. Akibatnya, bangsa menjadi terjebak dalam stagnasi yang memperlambat kemajuan ekonomi dan sosial.
2. Pembentukan Generasi yang Tidak Mandiri.Â
Salah satu contoh yang sering kita lihat adalah pandangan bahwa anak yang habis lulus sekolah harus melanjutkan pendidikan formal, tanpa memikirkan alternatif lain yang mungkin lebih sesuai dengan bakat atau minat anak tersebut. Hal ini menciptakan generasi yang lebih cenderung menjadi pengikut alih-alih pemimpin, lebih nyaman mengikuti arus daripada mengeksplorasi potensi diri mereka sendiri. Anak-anak ini tumbuh tanpa kemandirian berpikir, yang pada akhirnya menghambat perkembangan intelektual dan emosional mereka.
3. Penurunan Etika dan Moralitas.
Dalam konteks agama, sering kali kita mendapati bahwa banyak orang lebih memilih untuk mengikuti ajaran tertentu secara literal tanpa mempertimbangkan relevansinya dengan situasi zaman modern. Doktrin agama yang tidak dipikirkan kembali dengan kritis berisiko menimbulkan fanatisme yang merusak tatanan sosial, serta mendorong sikap intoleran terhadap mereka yang berbeda pandangan. Agama yang seharusnya menjadi sumber nilai-nilai moral yang mulia malah berpotensi menjadi sumber perpecahan ketika dijalankan tanpa pemikiran yang bijak.
4. Kurangnya Kepedulian Sosial.
Ketika masyarakat tidak terbiasa berpikir kritis, empati dan kepedulian terhadap sesama pun dapat terkikis. Orang-orang yang terlalu fokus pada menjalankan rutinitas sering kali gagal melihat ketidakadilan atau masalah sosial di sekitar mereka. Misalnya, keyakinan bahwa anak yang nakal harus dihukum sering kali membuat kita mengabaikan penyebab utama kenakalannya, seperti masalah di rumah atau kurangnya bimbingan. Mengikuti kebiasaan ini tanpa menganalisis kondisi individu dapat membuat masalah sosial semakin kompleks.