Pesta demokrasi telah usai. Ada yang menang dan ada juga yang gagal. Ada yang bersujud syukur sambil berucap: "Terima kasih untukmu semua." Namun, ada juga yang mengelus dada sambil berkata: "Ya, sudalah, belum waktunya."Demikianlah dinamika yang terjadi di tengah masyarakat.Â
Mengahdapi dinamika yang ada, sejauh pengamatan masyarakat kita terbagi menjadi dua kelompok, yakni pertama, kelompok masyarakat yang melek politik dan pemerintahan dan mengingat detail setiap janji dalam bentuk visi dan misi yang telah dikemukakan oleh setiap wakil rakyat yang terpilih, Namun dalam kelompok ini ada juga yang tidak terlalu mempedulikannya. Kelompok ini umumnya tersebar di daerah perkotaan.
Kelompok kedua, adalah mereka yang tidak mengerti tentang politik. Kelompok ini yang rentan untuk dibohongi terutama oleh para calon yang ingin meraih suara secara instan. Mereka tentu lebih banyak tersebar di daerah pedesaan yang nota bene minim infrastruktur dan sarana trasnportasi dan sarana telekomunikasi yang masih terbatas.
Terhadap kelompok yang kedua ini, tentu menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak terkait. Sedangkan kelompok pertama yang pro aktif terhadap kinerja kerja dari wakil rakyat layak untuk diapresiasi dan diharapkan untuk terus mengawasi dan menagih janji yang telah disampaikan legislator terpilih.
Sejauh pengalaman, mengawasi dan menagih janji para wakil rakyat itu bukanlah pekerjaan mudah. Sebab sudah menjadi rahasia umum mereka yang terpilih kadang lebih banyak mewakili diri sendiri dan parpol pengusung ketimbang mengembankan amanat rakyat. Seringkali setiap janji yang diucapkan saat kampanye hanyalah sebatas janji dan tak pernah menjadi kenyataan.Â
Kritikan terhadap perilaku legislator seperti ini jamak terjadi. Namun hal itu belum menunjukkan titik terang yang menyenangkan. Dari sini bisa disimpulkan bahwa mengawasi para legislator terpilih sepertinya tidak mempan dengan hanya memberikan kritikan. Â Kritikan dengan aneka argumentasi belum bisa menyentu nurani mereka. Sebab mereka umumnya merupakan kumpulan kaum cerdik-pandai. Mereka memiliki kompetensi yang mumpuni untuk membela diri, dan melegitimasi perbuatan salah (ingkar janji).
Karena itu, hemat saya, butuh cara lain yang memungkinkan para legislator terpilih itu sanggup menepati janji yang telah mereka ucapkan. Jika setiap kritikan yang disampaikan belum juga digubris, maka langkah selanjutnya adalah melaporkan legislator kepada pihak berwajib dengan tuduhan sebagai pembohong. Pembohong itu sekerabat dengan penyebar berita hoaks dan karenanya harus diproses.Â
Tidak perlu menunggu legislator terjebak kasus, misalnya korupsi, dan lain-lain, baru dilaporkan ke aparat penegak hukum, melainkan saat di mana ia secara nyata telah membohongi masyarakat dengan janji palsunya, di situ ia dilaporkan juga. Menurut saya, cara ini akan membuat para legislator tidak akan main-main dengan ucapan terutama janjinya. Sebab janji itu adalah utang dan utang haruslah dibayar. Dan kalau ia tidak sanggup menepati janjinya, ia harus diproses secara hukum, memintanya untuk mengundurkan diri dan mendesak partai pengusung untuk mencari pengganti yang lebih baik.
Cara ini membutuhkan kerja sama elemen masyarakat  yang peduli terhadap kehidupan bersama. Jika ini memang diberlakukan pasti banyak masyarakat yang beramai-ramai melaporkan wakil rakyat di dapilnya yang doyan berbohong. Perlu dicatat bahwa cara ini merupakan langkah terakhir jika kritikan konstruktif enggan digubris oleh legislator terpilih. Untuk itu perlu ada payung hukum yang memberikan kekuatan kepada masyarakat untuk melakukan langkah yang perlu dalam mengawasi wakil rakyatnya termasuk melaporkannya kepada pihak berwajib. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H