Tanggal 21 Mei 1998 merupakan hari bersejarah dalam kaitan dengan perjalanan demokrasi bangsa Indonesia. Hal ini ditandai dengan mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan. Ini juga menjadi akhir dari rezim Orde Baru sekaligus awal dari gerakan reformasi bangsa.
Kini, 20 tahun berlalu. Sudah sepantasnya jika mengingat dan merenungkan kembali rentetan tragedi yang menjadi pemicu runtuhnya kekuasaan Soeharto. Mengorek peristiwa kelam di masa silam tentu tidak semua orang menghendakinya. Apalagi jika peristiwa itu berkaitan dengan harkat dan martabat manusia sebagai pribadi.
Namun rentetan tragedi  menjelang 21 Mei 1998 bukan tentang masalah pribadi yang hanya bisa diselesaikan secara pribadi pula. Tetapi ini merupakan persoalan bangsa yang di dalamnya mencakup hajat hidup orang banyak.
Rentetan peritiwa itu antara lain dimulai dari peristiwa 27 Juli 1996 yang dikenal dengan sebutan kudatuli yakni terjadi perpecahan dalam kubu Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Perpecahan ini menimbulkan terjadinya kerusuhan dan mengakibatkan lima orang tewas, 149 orang terluka da 23 orang dinyatakan hilang. Dan, kerugian materi kira-kira mencapai 100 miliar rupiah (Kompas.com, 27 Juli 2016).
Selain itu adanya kerusuhan yang bernuansa sara berupa pembakaran serta penjarahan  secara berturut-turut 13-15 Mei 1998 dan peristiwa lain di dalamnya adalah tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II (TSS).
Hasil penyelidikan Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Tragedi Trisakti serta Semanggi I dan II pada bulan Maret 2002 menunjukkan, ketiga tragedi tersebut bertautan satu sama lain. KPP HAM TSS juga menyatakan, "...terdapat bukti-bukti awal yang cukup bahwa di dalam ketiga tragedi telah terjadi pelanggaran berat HAM yang antara lain berupa pembunuhan, peganiayaan, penghilangan paksa, perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik yang dilakukan secara terencana dan sistematis...." (Kompas.com, 2/2/2017).
Pertanyaan klise nan polos dan selalu layak diangkat ke permukaan adalah siapakah pihak yang paling bertanggungjawab dalam retentan tragedi di atas? Tidak mudah memang untuk menemukannya. Karena dibutuhkan alat bukti yang cukup bagi para penegak hukum agar menguak aktor intelektual di balik semua tragedi yang ada.
Ditambah lagi pihak-pihak yang mungkin saja menjadi saksi kunci sudah ada yang meninggal, atau mungkin saja nyaman di tempat persembunyiannya. Hal ini tentu akan mempersulit aparat penegak hukum untuk menelusuri dan membuktikannya. Meski fakta sebagaimana yang dikemukakan di atas bahwa jelas ada pelanggaran HAM berat dalam kasus-kasus itu.
Kadang saya mengandaikan sekiranya ada tokoh atau pihak tertentu yang berani mengatakan bahwa dialah yang paling bertanggung jawab atas salah satu peristiwa yang terjadi. Tentu dengan konsekuensi ia siap menerima hukuman yang setimpal. Namun pengandaian itu tidak lebih sebagai kayalan atau halusinasi saya secara pribadi. Meski saya berharap sekiranya hal itu bisa terjadi.
Di tengah kebuntuhan atau lebih tepatnya tidak adanya keberanian untuk menyeret pihak-pihak yang dinilai bertanggungjawab, ada cara lain yang memang pernah ditempuh yakni rekonsiliasi. Meski demikian, hemat saya rekonsiliasi sejatinya terjadi jika sudah ada yang menyatakan diri sebagai pihak yang bertanggungjawab. Atau sekurang-kurangnya ada sinyal kuat yang mengarah ke pihak tertentu yang paling pantas mempertanggugjawabkannya. Hal ini penting untuk memenuhi rasa keadilan dari para korban.
Mungkinkah tragedi itu terjadi begitu saja sebagai bagian dari perjalanan sejarah yang tidak beradab dan layak dilihat sebagai penerapan hukum rimba? Hingga pada akhirnya tidak dijumpai pihak yang disalahkan atau pun pihak yang dibenarkan. Dan, kemudian berhenti. Semuanya tinggal kenangan. Ya, kenangan kemenangan pihak yang kuat dan kenangan kehancuran pihak yang kalah. Yang menang bersukacita memandang kekalahan lawan dan yang kalah meratapinya tiada akhir sambil menumpuk dendam untuk menangkap pihak yang dinilai sewenang-wenang.
Ini tentu sama sekali tidak sesuai dengan spirit peradaban manusia. Namun, sekali lagi kita akan  dihantar kepada kesadaran bahwa mengorek luka lama tentu akan teramat sakit. Meski tidak mengalaminya secara langsung namun bisa dirasakan karena setiap orang memiliki naluri kemanusiaan.