Hal ini sesungguhnya berdampak pada keadaan psikologis bangsa. Artinya, ada perasaan terluka, amarah dan mungkin saja membangun sikap dendam dalam diri. Ini begitu nyata dalam penulisan sejarah untuk anak-anak sekolah dasar dan sekolah menengah.
Semestinya penuturan dan penulisan sejarah haruslah menekankan obyektivitas serta kejujuran dari penulis untuk mengungkapkan kenyataan yang sebenarnya. Sebab kadang dijumpai penulis sejarah yang bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan atau rezim tertentu. Seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa sejarah seringkali ditulis hanya untuk kepentingan kelompok tertentu.
Sejarah ditulis oleh mereka yang berkuasa, yang cerdas, dan yang merasa diri paling hebat. Sehingga tidak jarang dijumpai tokoh-tokoh yang dianggap sebagai pahlawan diagungkan, dibesar-besarkan bahkan dipuja serta disembah. Sementara kelompok kecil yang terpencil, yang tidak memiliki pengaruh luas, dan tidak memiliki kekuatan untuk menuturkan kisahnya, enggan ditulis dalam buku sejarah. Atau parahnya, mereka mungkin menceritakan kisahnya tetapi tidak didengarkan dan tidak ditulis atau didokumentasikan.
Kenyataan ini begitu jelas terlihat dalam buku-buku pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah mulai dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah. Semua tokoh atau pelaku peristiwa sejarah yang ditulis hanya berasal dari daerah atau wilayah tertentu yang dianggap paling berpengaruh dalam perjuangan bangsa.
Sementara tempat-tempat lain yang terpencil, kecil dan tertinggal hampir dipastikan tidak tertulis dalam buku pelajaran sejarah. Padahal kalau mau jujur, hampir setiap wilayah di Indonesia ini memiliki sejarahnya sendiri dalam perjuangannya menghadapi penjajah. Namun mereka tidak memiliki kesanggupan untuk menuturkan atau menuliskannya.
Selain karena keterbatasan sumber daya manusia, juga karena mereka tidak mendapatkan akses yang memadai untuk menuturkan atau menuliskan sejarahnya. Tragisnya, buku pelajaran sejarah di sekolah layaknya sebagai buku dogma yang kebal terhadap revisi guna menambah aneka peristiwa atau peradaban masa lampau yang bernilai luhur yang tersebar di hampir seluruh wilayah Nusantara.
Lebih parahnya lagi, ada semacam seleksi saat mendokumentasikan aneka peristiwa historis dan monumen sejarah yang ada. Karenanya, sejarah menjadi lebih miskin daripada apa yang sungguh dialami dan terjadi. Seleksi ini tidak terlepas dari jaringan kepentingan yang melatari penutur atau penulis sejarah (Paul Budi Kleden dalam Frans Ceunfin & Felix Baghi, 2005:92). Di sinilah letak pembedanya atau lebih tepatnya sebagai akar persoalannya.
Dedikasi Arkeolog, Peneliti dan Penulis Sejarah
Dari sini saya berpikir bahwa para peneliti dan penulis sejarah bangsa Indonesia di masa lalu kehilangan obyektivitas serta netralitasnya. Ini menjadi sebab ketumpulan kepekaannya pada keadaan yang lebih luas.
Untuk itu, arkeolog atau para ilmuwan, peneliti dan para penulis sejarah harus lebih bebas dan terbuka untuk mendedikasikan ilmunya dalam konteks Nusantara yang luas dan beraneka ragam ini. Hal ini akan memungkinkan pembentukan karakter generasi bangsa yang dibangun di atas keberagaman karena ia mengetahui sejarah dari semua wilayah dalam kesatuan Nusantara. Itu berarti substansi sejarah Indonesia yang diajarkan di sekolah menjadi semakin luas dan kaya.
Penelusuran dan penulisan sejarah untuk generasi "zaman now" tidak lagi hanya bertujuan untuk menciptakan semangat nasionalisme semata tetapi lebih dari itu untuk membangun lapisan kesadaran akan kemajemukan bangsa. Hal ini penting agar generasi penerus bangsa ini tidak mudah terperosok ke dalam sikap sofinisme dan radikalisme budaya serta agama. Dengan itu, setiap wilayah yang tersebar di kepulauan Nusantara ini akan merasa memiliki andil dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya memajukan bangsa.