Sebagaimana tempat lain di negeri ini, NTT juga memiliki fasilitas gedung pemerintah yang mewah. Tentu saja mereka yang ada di dalamnya juga ikutan mewah. Namun perhatian terhadap masyarakatnya masih tergolong minim.
Masyarakat dibiarkan berjalan sendiri tanpa banyak arahan atau sosialisasi yang menyentuh akar persoalan yang dialami masyarakat. Kalau pun dilakukan, itu hanya menyentu kelompok tertentu.
Anehnya, menjelang menjelang pemilu legislatif dan pemilu kepala daerah seperti sekarang ini (pilgup NTT), banyak tokoh yang cerdas, terdidik turun sampai ke pelosok desa dan kampung. Mereka menina bobokan masyarakat dengan program menggiurkan.
Namun setelah mereka duduk di tempat yang terhormat, mereka tidak lagi mengunjungi masyarakat yang ada di kampung-kampung itu hingga lima tahun berikutnya baru kembali lagi. My ghoss! Stres? Tentu saja. Sakit hati? Ya. Tetapi itu hanya berlaku bagi mereka yang sadar dan tahu berpolitik secara praktis. Sedangkan masyarakat di kampung-kampung dan desa-desa yang tertinggal hanya bisa berujar: "tidak apa-apa, memang begitu sudah." Alamak nyatalah kebodohannya.
Bahkan dalam masa kampanye pemilihan gubernur saat ini, ada calon gubernur yang sudah terkena OTT KPK. Meski demikian ia tetap sah sebagai calon gubernur karena memang sudah memenuhi prosedur sebelumnya. Saya terlalu yakin pasti masih ada juga orang NTT yang memilihnya walaupun ia sudah menjadi tersangka di KPK. Apakah karena uang? Tentu. Apakah karena bodoh? Pasti.
Sementara itu, hemat saya para penegak hukum belum menjalankan tugasnya secara optimal dalam meringkus atau menangkap para calo maupun bandar perdangan orang. Bahkan ada aparat penegak hukum yang turut bermain di dalamnya. Kualitas hakim yang mengadili kasus perdagangan orang masih belum memadai. Hal ini menyebabkan tidak adanya efek jera terhadap pelaku. Jika seperti ini, sesungguhnya jajaran penguasa di NTT tidak lebih baik dari para bandar perdagangan manusia, human trafficking.
Selain pemerintah, para tokoh agama juga sebenarnya merasa paling bertanggunjawab. Di NTT bersileweran tempat atau rumah ibadah yang serba megah dan mewah. Namun hal ini menjadi ironi ketika gedung-gedung ibadah itu berada di tengah kemiskinan umatnya. Dana kolekte pun zakat yang ada di kota-kota kabupaten dengan jumlah yang tergolong menjanjikan. Namun pemanfaatannya seperti apa? Jarang ada yang transparan. Mungkin karena untuk Tuhan. Dan Tuhan itu tersembunyi atau tidak kelihatan.
Para pemimpin agama berkotbah berapi-api di rumah ibadah. Umat atau jemaat hanya mampu bilang amin. Setelah kembali ke rumah tetap meratapi nasibnya sendiri, tidak ada yang peduli. Kota Kupang, ibu kota provinsi NTT dijuluki sebagai kota kasih namun masyarakatnya mencari kasih di tempat lain. Masyarakat NTT lebih senang melihat komodo, ikan paus dan menjadi peternak kuda, sapi, kerbau di Malaysia, Singapura atau pun di tempat lain. Padahal di tanah sendiri ada. Itu pun perginya tanpa izin. Tahu-tahunya komodo di negeri jiran lebih ganas dibandingkan dengan komodo di daerah sendiri.
Para tokoh agama hanya pandai bersilat lidah di atas mimbar dan dalam diskusi-diskusi rohani atau pun diskusi masalah sosial. Mereka seakan tidak sanggup beersilat lidah dengan kenyataan yang dialami umat atau jemaatnya. No action talk only. Mungkin ini kalimat yang cocok untuk mereka.Â
Tidak ada gerakan yang lebih militan untuk mencerdaskan anak negeri dan menobatkan atau menyadarkan para pelaku human trafficking.Sekolah-sekolah yang berada di bawah naungan agama memang kualitasnya bagus tapi itu hanya untuk mereka yang berduit, sehingga tidak menjangkau semua lapisan masyarakat NTT.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga belum menjalankan fungsinya seara optimal untuk mencerdaskan masyarakat NTT. Saya sedikit berprasangka buruk terhadap LSM yang ada. Jangan-jangan mereka menjual kebodohan dan kemiskinan rakyat NTT untuk menggapai kepentingan pribadi atau kelompoknya. Semoga prasangka saya keliru.