Mohon tunggu...
Yasintus Ariman
Yasintus Ariman Mohon Tunggu... Guru - Guru yang selalu ingin berbagi

Aktif di dua Blog Pribadi: gurukatolik.my.id dan recehan.my.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebodohan dan Kemiskinan Picuh "Human Trafficking" di NTT

23 Maret 2018   08:16 Diperbarui: 23 Maret 2018   08:53 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Realitas kebodohan dan kemiskinan bukanlah hal yang baru di NTT. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2017 menunjukkan NTT masih menjadi salah satu propinsi termiskin di negeri ini.

Sementara itu hasil Ujian Nasional pada tahun 2017, NTT berada pada zona merah. Itu berarti kualitas pendidikan di NTT masih perlu diperbaiki. Situasi ini hemat saya bisa menggambarkan keadaan SDMnya orang NTT.

Kata miskin dan bodoh merupakan kata yang tergolong sensitif bagi segelintir orang NTT. Hal ini wajar kalau tolak ukurnya adalah keadaan diri sendiri yang memang mengenyam pendidikan tinggi. Atau, bisa saja jika enggan atau tidak mau terbuka dengan kenyataan riil yang  ada di luar dirinya.

Memang tidak bisa disangkal bahwa ada juga orang NTT yang hebat, pintar, cerdas yang tersebar ke seluruh penjuru negeri ini bahkan hingga manca negara. Dan untuk saat ini, doktor termuda Indonesia berasal dari NTT. Ini tentu sangat membanggakan orang NTT.

Demikian juga halnya dengan harta benda atau kekayaan. Orang NTT juga tentu ada yang menjadi pengusaha sukses atau konglomerat. Ini juga kenyataan yang sangat membanggakan.

Namun hal yang membanggakan itu menjadi tidak berarti sama sekali ketika terpampang realitas sosial masyarakat NTT secara umum masih terjebak dalam lumpur kebodohan dan kemiskinan. Jelas bahwa kebodohan selalu berbanding lurus dengan kemiskinan.

Kenyataan inilah yang menjadi lahan empuk bagi para bandar perdagangan manusia. Mereka memanfaatkan kekalutan ekonomi dan minimnya wawasan masyarakat NTT. Tawaran untuk menjadi tenaga kerja dengan gaji selangit menjadi senjata sederhana nan mpuh.

Rakyat NTT pun banyak yang terjebak hingga menjadi tenaga kerja ilegal di negeri orang. Harapan untuk mengubah hidup agar menjadi lebih baik menuai kehampaan. Semuanya sirna. Nyata hidup bukannya lebih baik malah lebih hancur. Pergi selamat, pulang tidak selamat. Ya begitulah kira-kira kalimat yang pas untuk membahasakan kenyataan ini. Miris, tetapi mau bilang apa. Semuanya telah terjadi dan mungkin masih akan terjadi lagi dan lagi.

Siapakah yang Salah?

Mencari kambing hitam atas persoalan di atas memang gampang. Namun hemat saya itu bukanlah  cara yang cerdas dan bijak. Akan tetapi perlu juga menyoroti bagaimana peran para pemangku kekuasaan serta kepentingan seperti pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat serta LSM yang ada di NTT.

Menyoroti peran para pemangku kepentingan di atas bukan untuk menyalahkannya tetapi supaya dijadikan sebagai bahan perenungan untuk perbaikan. Itu pun kalau mau atau bisa dilakukan. Selebihnya, hanya Tuhan yang tahu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun