Sepanjang pantauan penulis, kebanyakan guru honorer yang memperoleh upah di bawah standar adalah mereka yang mengabdi di sekolah yang kepala sekolahnya tidak memiliki kompetensi yang mumpuni dalam memimpin sekolahnya. Kepala sekolah tidak memiliki kesanggupan mengelola sumber keuangan sekolah, baik yang berasal dari dana  BOS maupun anggaran komite yang sudah disepakati dengan orangtua/wali murid.
Salah satu penyebabnya adalah kepala sekolah banyak yang diangkat karena faktor politik yang terjadi di tingkat daerah. Atau, kepala sekolah diangkat karena memiliki kedekatan dengan pemangku kepentingan di atasnya. Hemat saya, inilah akar persoalan yang harus dibereskan.
Untuk memperbaiki nasibnya, para guru honorer hanya bisa beramai-ramai memohon kepada pemerintah pusat dan DPR. Mereka tidak sanggup (tidak berani) menyuarakan kepentinganya di hadapan kepala sekolah karena takut kehilangan pekerjaannya (dipecat) walaupun mereka mengetahui ada penyelewengan dana yang terjadi di tingkat sekolah.
Rendahnya kompetensi serta integritas kepala sekolah merupakan biang keladi terpuruknya nasib guru honorer. Inilah persoalan sesungguhnya yang bersentuhan langsung dengan nasib guru honorer. Jika hal ini disadari dan dipecahkan secara bijak oleh kepala sekolah bersama komitenya, saya yakin jeritan piluh guru honorer tidak lagi terdengar. Sebab, sesungguhnya bukan menjadi PNS yang menjadi tuntutan utama para guru honorer melainkan upah yang layak untuk mengembangkan kompetensi profesionalisme dan peningkatan taraf hidupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H