Berjalan menyusuri lorong kehidupan mencari hati yang belum ditemukan, anganku melayang jauh ke tempat dimana aku bakal menemukan sesuatu yang berharga untuk digapai. lorong itu penuh kerikil, jalan itu berlubanhg dan gelap. Banyak orang berlomba-lomba untuk melewatinya. Ya, termasuk aku yang masih belajar memulai pertarungan dalam hidup. Aku sadar aku terpaksa, mencoba merangkak dengan nada optimisme.
Tak kusangkah optimismesku rapuh. Kegelapan menyapaku. Pada lorong itu aku terpental dan jatuh. Badanku menjerit, jiwaku merana. Di saat itu aku membayangkan bapa, mama, kakak, adik, saudara, saudari, segenap keluarga. Mereka begitu jauh dari pandanganku hingga mereka tidak tahu apa yang terjadi padaku.
Aku tak mau berhenti, pada lorong itu rohku tegar memberi semangat pada raga yang enggan beranjak. "0h...oh, sepertinya aku tak sanggup bernafas, ah Tuhan apa yang terjadi dengan diriku?"
Lorong itu memeang lorong kemelut, tempat aku menemukan kerapuhanku, tempat aku menjadi sadar bahwa aku bukanlah apa-apa, tempat aku menemukan ketakberdayaan, tempat aku menjadi semakin sadar betapa berharganya orang lain dalam hidupku.
Akhirnya, aku hanya bisa berucap pasrah: oh lorong yang membuatku tertatih, oh jalan yang membuatku terjegal, oh gelap yang membuat mataku buta. Aku tak ingin melupakanmu walau engkau telah membuatku menderita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H