Pada tahun 2018, Indonesia dikejutkan oleh berita bohong yang disebarkan oleh aktivis HAM Ratna Sarumpaet. Hoax penganiayaan yang diakuinya ini bagaikan luka di tubuh demokrasi, menunjukkan kerentanan media dan masyarakat dalam menghadapi informasi menyesatkan di era digital.Â
Hoax Ratna Sarumpaet bermula dari cuitannya di media sosial yang menceritakan penganiayaan oleh kelompok pro-pemerintah. Media massa dengan sigap memberitakannya, bahkan beberapa media besar memuat berita ini di halaman depan tanpa verifikasi yang memadai. Hal ini memicu kemarahan publik dan memperparah polarisasi politik di Indonesia.
Kebohongan Ratna Sarumpaet terungkap setelah dia ditangkap oleh pihak kepolisian. Pengakuannya tentang penganiayaan palsu ini menggemparkan publik dan menimbulkan pertanyaan besar tentang kredibilitas media massa. Bagaimana bisa media besar terjebak dalam hoax ini?
Kasus hoax Ratna Sarumpaet menjadi contoh nyata tentang bagaimana informasi yang salah dapat dengan mudah menyebar di era digital. Media sosial dan platform online lainnya menjadi wadah bagi penyebaran hoax dan ujaran kebencian yang dapat memicu keresahan dan perpecahan.
Kejadian ini juga menunjukkan perlunya kewaspadaan dan edukasi literasi media bagi masyarakat. Masyarakat perlu memiliki kemampuan untuk meneliti kebenaran informasi sebelum menyebarkannya. Media massa juga perlu memperkuat standar jurnalistiknya dan lebih kritis dalam menyajikan informasi.
Hoax Ratna Sarumpaet menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Kita perlu bersatu untuk melawan penyebaran informasi menyesatkan dan membangun budaya media yang lebih sehat dan bertanggung jawab. Demokrasi hanya dapat berkembang dengan informasi yang akurat dan objektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H