Pagi itu, tanah terlihat becek dan me-merah. Karena semalaman di guyur hujan, terlihat rumput dan dedaunan mulai tumbuh dan menghijau setelah sekian lama hidup dalam ketandusan. Pancaran seberkas cahaya mentari pagi mendatangiku melawati sela-sela bangunan dan pepohon yang ada di sekelilingku, seakan-akan memberi petunjuk dan pelajaran bahwa hidup ini harus tetap memberikan manfaat meski banyak yang menghalangi, matahari seakan berbicara seperti itu padaku.
Semangat pagi mulai tergugah, terlebih lagi ketika di atas meja tempat kami biasa duduk dan berdialektika tercecer segelas teh hijau, roti, dan sebuah buku yang memang sangat cocok untuk sarapan pagi otakku, terlebih dalam buku itu menceritakan tentang pergulatan para pemuda dalam rangka menemukan jati diri dan ideologi masing-masing. Judul bukunya adalah "Seteru Satu Guru" Novel pergulatan 3 murid TJokroaminoto yakni soekarno, Musso dan, kartosoewirjo.Â
Hos Tjokroaminoto membuka jalan kesadaran dan fikir bagi para pemuda yang kos di rumahnya untuk melihat masa depan bangsa yang lebih baik, Â dan jalan terbaik untuk memperbaiki dan melakukan perubahan adalah dengan memperluas pengembaraan samudra pengetahuan di tengan dominasi belanda di tanah kita, ungkap Tjokro. Dirumah tjokro ketiganya belajar tentang kemerdekaan, Â kebebasan dan ideologi dalam berbangsa, ketikanya menjadi sahabat dekat dan saling mendukung.
Namun sejarah berkata lain, ketiga murid kesayangannya ini harus berpisah jalan, mereka menempuh jalan sesuai kata hati masing-masing. Sebuah persimpangan yang kembali membawa mereka kembali dalam sebuah pertemuan darah. Â Perselisihan paham yang membuat sahabat saling menumpas.
*AYJ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H