Seperti yang sering kita dengar, ada istilah broken home. Broken home secara bahasa artinya rumah yang rusak. Namun secara istilah yang berkembang di masyarakat dapat saya artikan bahwa Broken Home adalah kondisi keluarga yang tidak harmonis atau suasana keluarga yang tidak sesuai dengan kondisi idealnya seperti keluarga pada umumnya ataupun keluarga dalam pandangan mainstream.
Broken Home sangat identik dengan perceraian. Namun sebenarnya makna dari broken home tidak hanya tentang perceraian. Korban broken home bisa saja tidak berasal dari keluarga yang bercerai tapi berasal dari keluarga yang tidak memenuhi kebutuhan fisik, ekonomi, psikologis atau sosial. Misalnya ada seorang anak yang depresi karena kakaknya adalah korban pemerkosaan yang bunuh diri.Â
Ataupun anak yang depresi karena setiap hari melihat ibunya dipukuli oleh ayahnya. Ini bisa disebut dengan kondisi Broken Home bagi si anak. Karena orang diluar keluarganya akan memandang bahwa keluarga si anak ini "Aneh" atau tidak normal dan juga akan ada traumatis yang dialami si anak. Dan ini bisa membuat seorang tidak nyaman dalam rumah atau lingkungan keluarganya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa faktor terbesar yang melahirkan "korban-korban broken home" adalah perceraian.
Berdasarkan data dari website mahkamah agung, sebanyak 419.268 pasangan bercerai sepanjang tahun 2018. Jumlah ini belum termasuk data perceraian warga non muslim yang melakukan perceraian di pengadilan umum. Setidaknya ada 4 faktor utama dari penyebab terjadinya perceraian, yaitu perbedaan tujuan, perasaan tidak dihargai, perasaan ingin mendominasi dan masalah finansial. Dengan meningkatnya jumlah perceraian dari tahun ke tahun tentu ini juga menunjukan semakin banyaknya jumlah anak-anak korban broken home.
Keluarga yang kita miliki memang tidak (lagi) Utuh, tetapi cobalah untuk selalu menjadi manusia seutuhnya. - Isnaniar Noorvitri
Menurut penelitian American Psychological Associtiion, anak-anak yang mengalami perceraian orangtua lebih memiliki kecenderungan menunjukan masalah-masalah perilaku, namun hal itu bukan berarti semua anak korban broken home mengalami masalah perilaku serta dapat dinilai buruk, karena ada penelitian lain yang menyebutkan bahwa 80% korban broken home dapat beradaptasi dengan baik dan tidak memperlihatkan efek negatif dalam hal pendidikan, kehidupan sosial dan kesehatan mental.
Banyak stigma negatif yang ada di masyarakat tentang anak broken home, seperti anak yang liar, tidak bermoral, membawa pengaruh buruk dan lain-lain. Bahkan tidak jarang ketika dewasa anak broken home sulit mendapatkan restu untuk menikah karena latar belakang keluarganya. Stigma-stigma ini cukup menyiksa dan secara tidak langsung membatasi ruang gerak korban dalam bersosial dan berkembang.
Menjadi bagian dari keluarga yang tidak utuh atau tidak harmonis tentu saja bukan hal yang mudah bagi siapapun, baik bagi anak maupun orang tua. Menjadi korban broken home bukanlah sebuah pilihan.Â
Sama seperti korban bencana alam, korban kekerasan atau istilah korban lainnya. Mereka tidak bisa memilih untuk menjadi korban ataupun tidak, karena mereka "terjebak" dalam situasi itu. Korban tentu menginginkan berada di keluarga yang utuh dan harmonis seperti dambaan anak-anak lainnya.
Tengok ke belakang, lihat sejatuh apa kamu dimasalalu dan lihat setangguh apa kamu hari ini. - Chatreen Moko
Tumbuh dari keluarga yang tidak utuh membuat korban sering mengalami gangguan psikologis dan perubahan prilaku. Korban cenderung lebih tertutup, tidak mudah percaya dengan orang lain, tidak percaya diri, tidak stabil emosi, murung dan sedih berkepanjangan.Â