"pecat wiiiimmmm", tulisan di hp saya saat saya membuka sms yang baru masuk malam itu, tepat setelah wasit asal korea selatan menghentikan pertandingan akibat suasana GBK yang mulai memanas. Dibandingkan dengan saya, teman saya yang satu ini memang begitu antusias mengikuti perkembangan PSSI dan timnas, yang malangnya makin terpuruk dari waktu ke waktu. Paginya selepas subuh, twitter pun ramai kecaman dan tuntutan pergantian pelatih. What??? Minta ganti lagi?? Muka pelatih yang sekarang saja saya belum hafal sudah menuntut pergantian pelatih? Saya pun jadi teringat Radojko Avramovic, pelatih timnas singapura, wajah yang sangat familiar bagi saya sampai-sampai saya lupa sejak kapan pria Serbia itu melatih timnas jiran kita. Indonesia memang unik. Dengan prestasi sepakbola yang, maaf, tidak ada, antusiasme penontonnya sangat besar, yang apabila dikelola secara tepat bisa saja menyamai antusiasme penonton Bundesliga. Antusiasme, fanatisme, yang dipadukan dengan ekspetasi tinggi terhadap timnas, wajar apabila kekecewaan akan muncul apabila timnas kalah. Celakanya, timnas kita memang tidak sehebat yang kita bicarakan, karena pengelolaan ala politik yang dari dulu hingga sekarang sangat kental, menjadikan sepakbola dengan basis massa yang besar menajdi kendaraan untuk menggapai kepentingan pribadi dan golongan. Lantas apakah mengganti pelatih saat ini adalah solusi?? Bisa iya bisa juga tidak. Giant Killing, sebuah film anime Jepang bisa menjadi pelajaran bagi kita. Takeshi Tatsumi adalah tokoh utama dalam fim ini, merupakan mantan bintang pujaan klub East Tokyo United (ETU) yang pada puncak prestasinya memilih hengkang ke eropa, berakibat pada jatuhnya prestasi klub tersebut ke titik terendah. Meskipun pada akhirnya bisa kembali ke divisi 1, ETU tetap menjadi klub kecil, lemah, dan pesakitan yang juga sering gonta-ganti pelatih. Tanpa kemampuan finansial, mereka tidak mampu membeli pemain bintang mahal untuk menambah kedalaman skuad. Di saat itulah, Takeshi kembali dan melatih klub tersebut. Pembentukan karakter adalah fokusnya yang pertama, didukung dengan kemampuannya dalam menyesuaikan permainan timnya terhadap tim lawan yang tentunya lebih didukung pemain yang lebih berkualitas. Dengan pendekatan tersebut, juga kemampuannya dalam psy-war dengan pelatih lawan, perlahan-lahan ETU bisa memiliki karakter "Giant Killing". Apakah Takeshi langsung sukses? Tidak, bahkan 5 pertandingan awalnya kalah (timnas aja baru 3). Namun, dari pertandinga-ke pertandingan, moral pemain justru makin meningkat. Takeshi pandai dalam memotivasi melalui kata-katanya yang tajam. Bahkan dalam satu adegan, Takeshi sempat mengatakan kepada kapten ETU bahwa sebagai pemain dia sudah habis jika tetap bermain seperti ini. Kata-kata tajam, namun dibalas pemain-pemainnya dengan perubahan sikap di lapangan, perubahan pandangan terhadap permainan, dan kesabaran yang pada akhirnya bisa menghantarkan satu per satu pemain untuk menemukan kelemahan dan kelebihannya, bisa membawa kemenangan demi kemenangan. Lewat film tersebut, saya sadar dan mengerti bagaimana sosok seperti SAF, Mou, atau Pep bisa sukses sebagai pelatih kelas dunia. Ada interaksi rumit antara pemain dan pelatih sehingga permainan indah itu lahir di lapangan hijau. Didukung pula dengan manajemen yang bisa menjembatani 11 pemain di lapangan dengan pemain ke 12, para suporter. Chemistry itulah yang saya ataupun anda tidak akan pernah bisa mengerti, karena kita memang bukan dilahirkan untuk terlibat dalam permainan, tetapi hanya menjadi pecinta saja. Saya pun tak ragu untuk mengatakan Indonesia tidak mempun yai semua modal itu. Pelatih bertangan dingin, pemain yang memiliki semangat untuk terus berkembang, federasi yang benar-benar fokus membangun sepakbola, serta suporter yang dewasa. Film memang bisa menjadi sumber inspirasi bagi kita, tak terkecuali film Giant Killing. Pada PD 2002, keberhasilan jepang ditambahkan dengan komentar kapten timnas Jepang saat itu, “Keberhasilan menembus babak kedua adalah berkat kerjasama tim, bangsa Jepang dan Kapten Tsubasa!”, pada pers internasional saat merayakan keberhasilan mereka lolos ke babak kedua melawan Turki.Memang film ini tidak sehebat film Kapten Tsubasa yang sempat booming di Indonesia. Namun setidaknya bisa menjadi bahan renungan bagi kita untuk sedikit lebih memahami bahasa sepakbola, bahasa yang sederhana yang menjadi rumit apabila terdapat berbagai kepentingan dalam bahasa tersebut. Terlalu besar dan berat jika saya berharap jika anime ini kemudian bisa menjadi sebuah kekuatan untuk bisa menggerakkan banyak elemen agar merasa bahwa inilah saatnya bertindak atas nama sepakbola dan bangsa. Saya hanya berharap di masa depan sepakbola kita hanya berbicara tentang sepakbola, itu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H