Mohon tunggu...
Yarifai Mappeaty
Yarifai Mappeaty Mohon Tunggu... Penulis - Laki

Keterampilan menulis diperoleh secara otodidak. Sejak 2017, menekuni penulisan buku biografi roman. Buku "Sosok Tanpa Nama Besar" (2017) dan "Dari Tepian Danau Tempe (2019).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Geliat Islam dari Monas Mengajar Dunia

1 Desember 2018   13:43 Diperbarui: 1 Desember 2018   13:48 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seketika, ada rasa menjalar disekujur tubuhku dan melumpuhkan segenap kesadaranku. Tak lama,  Saya jatuh terduduk, lemas tanpa tenaga. Saya menemukan diriku begitu sangat kecil, kecil, dan sangat kecil. Bahkan, seolah hilang diantara lautan manusia. Saya lalu mencoba mengumpulkan sisa-sisa tenaga dan kesadaranku, dengan sekali hentak kuteriakkan, " Allahu Akbar!", gemuruh pun pecah di dada, dan air mata tumpah tak terbendung lagi.

Menjelang pukul sebelas, langit mulai  tampak mendung. Saya pun turun dari jembatan dan kembali ke arah Sarinah.  Tanpa dikomando, para jamaah pun menyusun shaff menggelar sajadah untuk sholat jum'at.  Di depan Bangkok Bank, saya berhenti karena ditawari makanan. Saya hanya mengambil air minum mineral karena tak merasa lapar. Tak sampai sepuluh meter melangkah, kembali ditawari makanan.

Begitu banyak orang menyediakan makanan. Tiba-tiba, saya  merasa menemukan sesuatu yang tidak biasa. Pada umumnya, aksi unjuk rasa yang sering kita lihat, tidak jarang diwarnai pemandangan rebutan nasi bungkus. Tetapi ini sama sekali lain. Mereka tidak mengambil sesuatu pun kalau tidak ditawari. Bahkan, tidak jarang menolak dengan ucapan, terima kasih. Luar biasa.

Geliat islam dari Monas telah mempertontonkan keluhuran akhlak dan ketinggian moralitas islam yang lebih dari cukup untuk merontokkan berbagai macam stigma negatif yang telah disematkan kepada islam selama ini. Aksi bela islam (ABI) 212 telah berhasil membuat dunia kecele.  Aksi kekerasan yang mereka tunggu-tunggu dengan harap-harap cemas tak kunjung terjadi.

Mestinya dunia menyesal menyebut Islam agama yang penuh kebencian, sekiranya mereka menyaksikan kejadian di simpang MH Thamrin - Kebon Sirih.  Seorang pengendara mobil terjebak dalam kerumunan. Begitu ia membuka kaca mobilnya, Ia Tionghoa. Peserta aksi pun yang sudah terlanjur menyusun shaff dan menggelar sajadah, spontan bergerak membukakan jalan. Pengendara mobil itu pun keluar dari kerumunan massa dengan tenang, aman, tanpa gangguan sedikit pun.

Dunia kira-kira mau bilang apa, sekiranya melihat di depan Hotel Sari Pan pacific, sepasang suami isteri paruh baya, entah dari Cina, Jepang, atau Korea. Tetapi, yang pasti bermata sipit. Dengan santainya, membaur, berjalan disela-sela kerumunan massa ke arah patung kuda, tanpa gangguan sedikit pun juga. Ini adalah bukti empirik yang menunjukkan bahwa Islam memberikan rasa aman kepada siapa saja, apabila berada bersamanya tanpa harus menjadi pemeluk Islam. Dan,  sikap hidup Inilah yang sesungguhnya diberikan Islam secara tulus kepada Indonesia dalam wujud Pancasila dan rahmat universal kepada dunia.

Dunia memang mesti tercengang melihat tingkat kualitas kepatuhan massa ABI 212 kepada pemimpinnya.  Mereka tetap bergeming manakala hujan turun. Mereka tak beranjak, meski diguyur hujan deras. Mereka tetap bersujud, meski sajadah dan tempat sujud tergenang air. Adakah kepatuhan seperti ini yang pernah ditemukan di tempat lain?

Mungkin saja banyak yang skeptis, sinis, lalu mencibir. Mereka kira, hujan yang turun itu dikiranya isyarat, kalau pemilik semesta tak berkenan pada aksi bela Islam 3. Padahal, justeru mereka yang tidak paham, bahwa hujan yang turun itu adalah jawaban spontan Allah untuk mengatasi terbatasnya air untuk berwuduh. Lalu, Allah sendirilah yang "me-wudhu'-kan" hamba-hambanya dengan caranya sendiri.  Juga, hujan deras itu , sekaligus untuk membuktikan bahwa mereka bukan massa bayaran seperti yang dituduhkan oleh para munafiqun yang bermulut keji.

Aksi bela islam 212 telah membuat dunia melongo. Bagaimana mungkin mengendalikan massa yang berjuta-juta itu sehingga tidak terjadi anarkis? Padahal, tak sedikit tempat ibadah non-muslim, kantor  kedubes,  properti dan simbol-simbol milik asing yang selama ini memusuhi islam, berada di area aksi unjuk rasa yang sangat mudah menjadi sasaran anarkis. Malah terjadi sebaliknya. Properti sepanjang area itu pada membuka pintu, memfasilitasi keperluan peserta aksi, seperti, toilet, air wudhu, bahkan space untuk shalat jum'at, tanpa  diminta.

Begitu cemasnya terhadap kemungkinan terjadinya anarkis, sejumlah kantor kedubes di Jakarta melakukan langkah antisipatif dengan mengeluakan travel warning beberpa hari sebelumnya. Ini sebenarnya sudah cukup melukai perasaan Ummat Islam Indonesia. Mereka tetap tidak percaya kalau aksi bela Islam 212 ini adalah aksi yang benar-benar damai, maka tetap saja mengeluarkan travel warning. Sekali lagi, mereka kecele karena kecemasan mereka tidak terbukti.

Kedubes Amerika Serikat, Inggeris, Jerman, Prancis, tentu menyaksikan langsung jalannya ABI 212, bukalah mata, lalu sampaikanlah kepada pemerintah kalian secara jujur, kalau  kalian telah menyaksikan wujud islam yang sebenarnya di Monas. Bahwa jangankan anarkis, bahkan tak sehelai pun rumput yang tersentuh, apalagi terinjak. Sampaikan juga kemustahilan yang kalian saksikan, bagaimana mungkin berjuta manusia itu tidak meninggalkan serakan sampah. Namun, fakta empiriknya bersih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun