Bagi lembaga konsultan politik, paling tidak, ada 2 hal yang membuat mereka merilis hasil surveynya. Pertama, dalam rangka proses mencari pengguna jasa konsultan politik (klien). Untuk maksud tersebut, mereka melakukan survey dengan biaya sendiri. Di sini mereka benar-benar masih berstatus independen. Â Hasil survey itu kemudian dirilis dengan harapan ada kontestan pilkada yang tertarik menggunakan jasanya. Dalam konteks pilkada Sulsel yang tinggal sebulan lagi, tentu sulit dipercaya kalau masih ada lembaga survey semacam itu. Sedangkan kita semua tahu bahwa pekerjaan survey itu membutuhkan ongkos yang tidak kecil. Lantas, apakah ada lembaga survey yang melakukan survey untuk kontestan tertentu tanpa dibayar? Ah, absurd.
Kedua, rilis survey dilakukan oleh lembaga survey yang bekerja pada kontestan tertentu. Tujuannya untuk menggiring opini publik memilih kontestan yang menggunakan jasanya. Oleh karena itu, sangat sulit  mempercayai data survey yang sengaja dirilis oleh lembaga survey yang sudah bekerja pada salah satu kontestan. Lalu, bagaimana melihat posisi CSIS dalam pilkada Sulsel?
Survey yang dilakukan oleh CSIS adalah survey nasional yang dilakukan untuk memotret pilkada serentak 2018. Tidak hanya Sulsel, tetapi juga pilkada di provinsi lain, seperti, Jatim, Jateng, Jabar, dan Sumut. Sebagai lembaga kajian strategis, CSIS bukan lembaga biasa seperti lembaga-lembaga konsultan politik yang hidup dari jasa konsultan dan survey politik. CSIS tidak asal melakukan survey, tetapi ada misi besar yang diemban untuk tujuan tertentu. Hampir dapat dipastikan bahwa itu terkait dengan Pilpres 2019.
Oleh karena itu latah kalau kemudian CSIS dikaitkan dengan paslon tertentu yang kebetulan diuntungkan dalam rilis surveynya. Lagi pula, berbicara kepentingan, Sulsel terlalu kecil bagi kiprah CSIS yang selama puluhan tahun menjadi kreator perumusan kebijakan rezim Orde Baru. Â Apa boleh buat, CSIS pun dicemooh di pilkada Sulsel. Bukan hanya itu, survey sebagai metodelogi ilmiah juga digugat, bahkan ada yang sampai menghujat statistik sebagi ilmu bohong. Ah, jangan karena buruk rupa, lantas cermin pun dipecahkan.
Makassar, 20 Mei 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H