ANAK LORONG DI JALAN BUNTU
Oleh : YARIFAI MAPPEATY
(Direktur ElekTA Strategic)
Tiba di rumah usai mengantar anak-anak ke sekolah, saya memilih langsung masuk ke dalam rumah tanpa sempat berkeliling melihat-lihat keadaan sekitar. Duduk di kursi meja kerja, saya membuka laptop sembari menikmati kopi pagi. Cuaca di luar jendela tampak begitu cerah setelah beberapa hari diguyur hujan. Ditemani kue tarajjo, semacam penganan goreng tradisional Bugis-Makassar, yang terbuat dari singkong dicampur gula merah, kreasi sang isteri. Sembari bersiul-siul kecil, saya memeriksa postingan di  facebook, instagram, dan whatsapp. Ternyata masih tentang Dani Pomanto, Calon Walikota Makassar incumbent.
Nyaris semua berita media online dan percakapan menyangkut tentangnya. Ia  disebut-sebut terancam gagal ikut Pilkada Kota Makassar. Pada saat yang sama, KPUD Makassar  tampak kerepotan dan gamang di antara dua opsi. Mengeksekusi putusan PT TUN atau mengajukan kasasi. Bagaimana tidak kalau terus mendapat provokasi secara bertubi-tubi. Dicap tidak netral jika masih berusaha menempuh upaya hukum pada tingkat yang lebih tinggi, memohon kasasi ke Mahkamah Agung. Sementara pendukung pasangan calon Munafri Arifuddin -- Rahmatika Dewi (Appi-Ciccu)  tampak begitu trengginas dan ngotot mendesakkan agar keputusan PT TUN yang membatalkan pencalonan Dani Pomanto -- Indira Mulyasari (DIAmi), segera dilaksanakan.Â
Membayangkan sesuatu yang rumit bakal terjadi, saya lantas menghisap rokok dalam-dalam kemudian mengepulkannya ke udara. Terlintas di benak saya, jika KPUD Makassar mengeksekusi keputusan PT TUN, maka seluruh proses Pilkada yang dilalui Pasangan DIAmi, menjadi batal dengan sendirinya. Dengan begitu, Appi -- Ciccu menjadi calon tunggal menghadapi kotak kosong, sementara Dani Pomanto kembali mengambil alih tampuk kepemimpinan Kota Makassar dari tangan Daeng Ical (Syamsu Rizal), yang baru beberapa pekan digenggamnya.
Lantas, muluskah Appi -- Ciccu meraih kemenangan mengalahkan kotak kosong? Eitt......! Tunggu Dulu. Sebab hari-hari ini, muncul gejala "Efek Dani". Dimana-mana orang membicarakan Dani.Â
Di warung kopi dan di pos ronda, semua tentang Dani. Semalam, ketika menghadiri sebuah hajatan tradisi Menre Bola  seorang sahabat, semacam acara syukuran memasuki rumah baru,  hanya Dani yang menjadi perbincangan. Efek Dani ini menjalar dengan cepat, sampai-sampai membuat ketenangan saya pagi ini, juga ikut terusik oleh riuh rendah ibu-ibu tetangga yang sedang belanja sayur di depan rumah sambil ngrumpi tentang Dani. Tampak dengan jelas bahwa masyarakat tidak begitu paham terhadap proses hukum yang sedang berlangsung, sehingga mereka hanya tahu kalau Dani dizholimi.
Namun, Tim Appi -- Ciccu, tidak boleh memandang enteng hal ini. Sebab, jika sampai pasangan DIAmi benar-benar mengalami diskualifikasi, maka tidak mustahil, gejala Efek Dani ini berkembang menjadi gelombang empati terhadap pasangan DIAmi, mengalir tidak terbendung. Hal ini bisa berdampak pada rendahnya partisipasi pemilih hingga jumlahnya melampaui setengah dari total wajib pilih Kota Makassar. Bukan hanya itu. Jika pada akhirnya Appi -- Ciccu benar-benar melawan kotak kosong, maka tidak sulit bagi Dani yang menjabat Walikota untuk mengorganisir pendukungnya untuk memenangkan kotak kosong. Apa yang terjadi? Sesuai Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016, pilkada ulang dilakukan. Jika itu yang terjadi, maka, selain Appi -- Ciccu kalah dan dipermalukan oleh masyarakat, Dani Pomanto berpeluang untuk tetap menjabat Walikota Makassar hingga 2020.
Batas waktu KPUD Makassar untuk mengajukan permohonan kasasi, tinggal sedikit hari. Â Namun, akankah Appi -- Ciccu melawan kotak kosong? Dan Dani si anak lorong itu benar-benar terhenti di jalan buntu?
Makassar, 26/03/2018