Siapa yang tidak kenal dengan kawasan Malioboro, Malioboro yang merupakan salah satu destinasi pariwisata yang wajib hadir jika berpariwisata ke Daerah Istimewa Yogyakarta. Malioboro sendiri sudah eksis dari zaman Kolonial sampai sekarang sebagai pusat aktivitas perekonomian kota.
Walaupun sekarang pada tahun 2022 ini saat kami angkatan 2020 Pendidikan Sejarah mengunjungi Malioboro ini sangat berbeda sekali jika dibandingkan saat saya mengunjungi Malioboro saat masih di jenjang SMA.
Dari berbagai tempat destinasi di Malioboro, mungkin masih asing dengan sebutan Kepatihan, terutama bagi seperti saya yang bukan orang asli Yogyakarta. Kepatihan ini memiliki nilai sejarah dan bukti sejarah para pepatih sultan yang dulu pernah tinggal dan bekerja disana.
Dari Khalika (2019), ”Di dalam kompleks kepatihan terdapat bangunan bersejarah yang dahulu digunakan patih untuk beraktivitas, salah satunya adalah Gedhong Wilis yang temboknya dicat hijau”.
Potret dari pintu selatan Kompleks Kepatihan. (Cover diatas). Sumber: Hasil Dokumentasi Pribadi
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, “Kompleks Kepatihan ini yang berisi bangunan-bangunan telah berdiri pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I, tepatnya sudah dibangun sejak tahun 1755”. Yang pada masa itu ditinggali dengan pepatih-pepatih atau patih-patih yang bekerja untuk Sultan. Sebagai seorang patih Sultan, maka patih memiliki hubungan yang khusus dengan Sultan. Pada masa itu patih-patih bertugas membantu Sultan baik dalam pekerjaan ataupun lainnya serta menjadi sebagai penghubung dengan Belanda.
Pada dimulainya pendudukan Jepang pada tahun 1942, Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai penguasa daerah Kasultanan Yogyakarta mengambil keputusan bahwa tempat kerja pepatih dipindahkan dari kepatihan ke keraton.
Dengan adanya Jepang di Indonesia, mungkin menjadi alasan dengan terjadi perubahan dalam pemerintahan Kasultanan dengan adanya keputusan tersebut. Kemudian, pada tahun 1945 Sultan Hamengkubuwono IX memutuskan untuk menghapuskan jabatan pepatih.
Untuk menggantikan jabatan pepatih yang telah dihapuskan, kemudian Sultan membentuk jabatan-jabatan baru yang disebut dengan Paniradya. Jabatan-jabatan tersebut di antara lain: Sanapitra (Sekretariat), Wiyatapraja (Pendidikan), RancanaPancawara (Perencana Penerangan), AyahanUmum (Pemerintah Umum), dan Ekonomi Yayasan Umum. Jabatan-jabatan inilah yang menggantikan jabatan pepatih untuk bertugas membantu Sultan yang berkantor di Kepatihan.