Media cetak dan elektronik Indonesia beberapa hari ini dihebohkan tentang pemberitaan aksi bully yang dilakukan anak SD di Bukittinggi ketika pelajaran Agama. Pemberitaan itu seketika mulai meredup ketika para anggota dewan dan petinggi kota itu mulai mengambil sikap dan memutuskan akan memberhentikan guru Agama yang dinilai lalai karena meninggalkan pelajaran dan ketika itu sedang mengajar di sekolah lain dan yayasan akan diberikan teguran tertulis. Mendengar keputusan itu, saya pun mencari tau reaksi netizen. Sesuai dugaan, Cyber-Bullying pun terjadi dan menyerang guru Agama tersebut.
Bahkan, kadang jika suatu topik pembicaraan itu mengenai SARA, para bullyer tidak segan-segan berkomentar dengan berbau SARA. Dalam kasus ini, komentar berbau SARA pun ada yang muncul, namun tidak saya tayangkan karena saya mengerti tentang aturan Ten Commandment of Computer Ethics yang dibuat Computer Ethics Institute pada tahun 1992, jauh sebelum komputer dikembangkan seperti sekarang ini.
Aksi Bullying dalam dunia maya (dibaca: CyberBullying) sudah jauh hari diatur dalam Etika Komputer yang saya sebutkan tadi dan juga didukung oleh UU ITE. Namun, karena dunia pendidikan tidak pernah menyinggung hal tersebut, maka masyarakat tidak tau menahu tentang aturan dan etika, akibatnya seenaknya berkomentar dan menyinggung orang lain.
Kasus lain yang belakangan ini menjadi topik di dunia Cyber adalah aksi bullying massal tentang Kota Bekasi. Kota Bekasi dijadikan bullying netizen karena berawal dari kritikan yang menyatakan kalau kota Bekasi sangat panas dan dengan kondisi jalan yang rusak sehingga cocok dianggap seperti neraka dunia. Namun, kritikan itu di-lebay-lebayin Netizen, hingga dapat menyakitkan hati orang lain yang membacanya. Namun, yang menjadi permasalahannya "Netizen yang membully dominan hanya bermodalkan 'ikut-ikutan', bahkan yang diluar Bekasi pun banyak yang membully". Padahal, bukankah dulu kita ada mempelajari pendidikan moral dan peribahasa:Â Di Mana Bumi Dipijak, Di Situ Langit Dijunjung ? Kemana larinya pendidikan yang dipelajari dulu? Apa hanya masuk telinga kiri lewat telinga kanan?
Suatu permasalahan tidak dapat diselesaikan dengan cara membully, hal tersebut justru akan menimbulkan permasalahan baru. Bukankah negeri kita ini negeri yang beradab dan menjunjung tinggi adat istiadat? Artinya, lakukanlah segala sesuatu menurut norma dan peraturan yang berlaku. Bukan tidak mungkin, kasus "Anak SD membully" akan sering terjadi kini, karena secara tidak langsung Netizen dewasa telah membimbing penerus bangsa ini, menjadi generasi pembully yang hanya berfikir secara negatif dan instan. Bagaimana jadinya Indonesia ini kalau dipenuhi rakyat-rakyat pembully nantinya? Mau??
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H