Yulianri Rizki Yanza*
*(Mahasiswa Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor)
Artikel Untuk RubrikBuku The Next Indonesian Leader
Ulasan Pembuka
Serpihan-serpihan kenangan yang kuingat tentang orde baru lebih banyak menceritakan tentang pengagungan Sang “Smiley General“ dan kepahlawanannya bagi bangsa. Bahkan saatku masih di sekolah dasar ia pun menjadi tauladan mimpi-mimpi para bocah di hampir seluruh hamparan nusantara, mungkin. Tentang bagaimana hebatnya seorang pemimpin bangsa yang menjadi orang terpercaya di bangsa yang luasnya hampir mencapai luas eropa. Malah bisa jadi patut untuk dicontohi para bocah-bocah di masanya -termasuk saya- selain Bapak kita, “Sang Putra Fajar” Ir. Soekarno. Sekarang pun banyak tokoh-tokoh publik yang bermunculan dan diproyeksikan menjadi pemimpin bangsa berikutnya, banyak yang terkenal dan banyak pula yang kurang eksis. Kemudian aku mendengar dua tahun lalu nama seorang pendobrak di balik sejarah reformasi indonesia, ternyatanamanya menggema lebih keras dari dugaanku. Dialah Budiman Sudjatmiko yang telah mengukir namanya pada platform sejarah kebangkitan bangsa Indonesia di akhir masa orde baru, tahun 1996-1999. Ia terkenal diantara para aktivis dan para cendekia muda. Padahal namanya samar-samar dalam kenanganku, siapa dia sebenarnya, aku pun juga ingin mengenal lebih dekat. Mungkin saja tulisan ini bisa jadi menjadi suatu cara untuk mengenal lebih dekat tentang Sang Budiman Sudjatmiko, harapanku.
Orde Baru. Era dimana suatu era bagi bangsa ingin memperbaiki diri, katanya. Namun ketika semua terkuak justru bangsa ini penuh luka-luka dan borok-borok yang sudah lama tak diobati. Tapi apa daya, luka tetaplah luka, borok tetaplah borok. Luka-luka bangsa memang meninggalkan sakit, berkurap, bekas dan tidak enak untuk dipandang maupun diusap. Namun bukan berarti luka itu tidak bisa diobati dan disembuhkan. Lalu apa yang dapat menyembuhkan luka-luka bangsa ini? Apa “ia yang kita sebut dengan ideologi? Padahal bangsa ini sudah sepakat untuk berlandaskan satu ideologi, yakni Pancasila nan agung. Atau program? Atau tindakan? Moral? Teknologi? Atau lainnya? atau mungkin keseluruhan hal-hal tersebut? Tentunya kita berharap semua elemen itu bisa menjadi penyembuhan total untuk bangsa ini. Namun tidak mungkin keseluruhan hal itu bisa dilakukan tanpa adanya peran rakyat yang dinamis karakternya untuk mengetahui obat seperti apa yang manjur untuk kesembuhan “sakitnya” bangsa ini. Lalu jika rakyat sendiri masih bingung, kepada siapa rakyat harus menyandarkan diri –selain Tuhan, karena kita tahu bangsa ini tentunya meng-EsakanTuhan- dan mampu membawa bangsa dan negara ini menuju kesembuhan total?
Pemimpin. Tentunya kita semua bersepakat akan pentingnya pemimpin yang menjadi wujud penentu ke semua hal-hal yang diharapkan diatas. Bahkan orang-orang terdahulu –sebelum lahirnya tahun masehi- masih sempat untuk terus memberikan wejangan akan pentingnya wujud seorang pemimpin yang lurus, tangguh, bijaksana, dan lebih mementingkan kesejahteraan rakyatnya diatas apapun. Seperti yang ditekankan oleh Konfusius ketika ditanya oleh adipati Lu -penguasa negeri China abad ke-4 SM- tentang bagaimana harusnya cara memimpin yang baik, “Memimpin adalah berjalan dengan lurus. Jika Tuan memimpin dengan lurus, siapakah diantara rakyat Tuan yang akan menyeleweng?”1. Tetapi lagi-lagi, luka adalah luka, borok adalah borok. Tentunya pemberontakan lahir karna sebab. Seiring perjalanannya meniti jalan demokrasi, negara dan bangsa ini seolah menurutku lupa akan masa lalu dan memandang masa depan tanpa peduli pentingnya masa ini, dan masa lalu.
Terlalu banyak dan kompleks penyelewengan yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin kita berdasarkan paparan sejarah hingga saat ini. Bahkan penyelewengan ini sudah mengakar di hampir setiap individu dalam masyarakat dan menjadi kebutuhan mental. Hal ini bisa diasumsikan karena adanya ketidakpercayaan atas Negara. Negara yang dipimpin oleh tuan-tuan yang bertengger diatas “pohon-pohon” kekuasaan -lembaga kekuasaan- dan lupa untuk menyuburkan rakyatnya yang ada di permukaan. Sehingga terciptanya ketidakpedulian rakyat akan ada atau tidaknya peran pohon-pohon kekuasaan yang harusnya saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Karena unsur-unsur adanya pohon-pohon itu juga berasal dari permukaan. Begitulah menurutku yang turut merasakan fenomena ini di Indonesia. Tentunya hal ini juga yang dirasakan para aktivis Indonesia yang cenderung dari kalangan mahasiswa sejak Indonesia merdeka. Mungkin itu pula yang membangkitkan jiwa seorang aktivis sekelas Budiman Sudjatmiko yang dulunya juga seorang mahasiswa, untuk berani memanjat “pohon-pohon” itu dan menebar benih-benih ke permukaan, yakni rakyat kecil -katanya. Namun apakah ia sama perilaku bertenggernya dengan tuan-tuan diatas pohon itu dan kemudian lupa dengan rakyatnya? Apakah dia merupakan pemimpin Indonesia berikutnya yang ditunggu-tunggu oleh bangsa ini?
Pemimpin Sejati, Bangsa dan Negara
Pemimpin merupakan seseorang yang berperan sebagai ujung tombak dalam menentukan suatu kelangsungan hidup atau nasib suatu kelompok, komunitas, bahkan negara maupun bangsa. Kita semua bersepakat tentang hal itu, betapa pentingnya peran seorang pemimpin dalam membawa kesejahteraan unsur-unsur yang ada di dalamnya. Termasuk dalam berpikir, bertindak, berkeputusan, kebijaksanaan dan pertanggungjawabannya untuk masyarakatnya serta bagaimana pemimpin bersama rakyat akan menyejahterakan suatu kelompok, komunitas, hingga konteks seluas negara. Sehingga dapat diasumsikan bahwa figur seorang pemimpin merupakan refleksi bagaimana rakyatnya. Jika pemimpin sendiri bingung, lalu apa rakyat juga tidak bingung? Pernah berkata Konfusius dalam dialognya dengan Adipati Lu “Kebajikan (moral) seorang pemimpin ibarat angin, sementara kebajikan rakyat ibarat rumput. Sifat rumput adalah tunduk kemana angin berhembus meniupnya”2. Para pendahulu sebelum tahun Masehi pun masih sempat menasehati kita, padahal entah bagaimana kacaunya kondisi negara si Adipati Lu pada waktu itu.
Kita sepertinya perlu mengulas kembali makna dari kata bangsa. Bangsa secara terminologi merupakan identitas masyarakat berdasarkan asas kemiripan dan kesamaan, baik itu identitas, sejarah, keturunan, agama, budaya, dan asal-usulnya. Para pendahulu kita telah bersepakat sejak 68 tahun lalu untuk berkumpul dalam satu bangsa berdasarkan sejarah kita yang sama-sama pernah dijajah bangsa lain di hamparan nusantara, yakni bangsa Indonesia. Hegemoni ini menjadi doktrin yang diwariskan ke anak cucu saat ini untuk berkesadaran bahwa di sepanjang hamparan nusantara dari sumatera hingga papua, kita merupakan satu bangsa. Doktrin ini merupakan doktrin etikadan filsafat, dan merupakan awal dari ideologimenurut Hans Kohn.Dengan demikian, faktor objektif terpenting bagi terbentuknya suatu bangsa ialah adanya kehendak atau kemauan bersama ("nasionalisme")3.Doktrin yang dimaksudkan disini dan sudah dilahirkan dalam wujud Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Artinyakita yang bertebaran di nusantara berdiri tegak sebagai sebuah bangsa walaupun banyaknya faktorpembeda dengan latar belakang yang sama, yakni target jajahan bangsa lain dan berlantai dasar filosofi-filosofi Pancasila. Namun pada kenyataannya rasa dan jiwa kebangsaan tersebut yang ditekankan sejak Sekolah Dasar telah luntur ketika anak-anak yang menjadi pemuda-pemudi generasi saat ini dan cenderung terpengaruh tren modern. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya tren-tren teknologi, mode, media sosial dan pola pikir yang ditularkan mempengaruhi masyarakat, terlebih para remaja tanggung. Mereka tentunya punya wawasan kebangsaan namun jiwa kebangsaannya hanya sebagian yang mampu menunjukan sikapkebangsaan. Padahal kita tahu peran serta pemuda -cenderung berdasarkan sejarah adalah mahasiswa dan berpendidikan dalam kemasan “cendikia”- sangat vital untuk kedaulatan bangsa Indonesia. Sampai-sampai presiden pioner kita Ir. Sukarno pun menekankan pentingnya peran pemuda dalam sebuah bangsa, “Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kugoncangkan dunia!”. Karena tentunya ia tahu bahwa pemudalah yang menjadi penerus semangat bangsa, dan diantaranya pasti ada yang menjadi pemimpin negara Indonesia.
Negara merupakan satu kesatuan sistem yang menjadi representatif dalam penyatuan rasa tersebut. Indonesia pun akhirnyamampu mendeklarasikan 17 Agustus 1945 sebagai sebuah negara Republik. Yaitu suatu bentuk pemerintahan berkedaulatan rakyat dan dipimpin oleh presiden4, suara bulat rakyat lah yang menjadi sumber wujud negara. Artinya masyarakat bangsa Indonesia telah mempercayakan sistemnya kepada negaraIndonesia pasca kolonial khususnya kepada para pemimpin negara yang merupakan manisfestasi suara bangsa. Bagaimana nasib bangsa diserahkan sepenuhnya kepada negara dan keputusan pemimpinnya tentang arah, aturan dan apa yang harusnya dilakukan rakyat. Tetapi fenomena dan fakta yang kita lihat apa sesuai dengan yang diharapkan bangsa dan rakyatnya? Menurutku justru kebanyakan yang kita lihat dari para pemimpin saat ini tak ada bedanya dengan para artis-artis hiburan dengan kenikmatan keglamoran dan harus menjadi pusat perhatian, entahlah menurut yang lain. Bedanya dengan para artis merekalah yang bertugas mengurus negara ini.
Keadaan yang terlihat dan timbul di Indonesia yakni begitu banyak ketimpangan baik dari segi sistemik kelembagaan negara, moral, kebijakan hingga kebebasan dalam bernegara. Korupsi sudah bukan tabu lagi diantara para pemimpin, jasa calo sana-sini sudah menjadi “jalan pintas utama”, berharap bekerja di kota karena di desa merasa terbelakang, Harga melonjak tinggi setiap tahun sedangkan daya beli masyarakat kebanyakan masih rendah, perbedaan antar kelas masyarakat yang deviasinya bisa tergolong tinggi, serta tumbuhnya budaya konsumtif. Lalu dimana letak kesalahannya? Pada negaranya, pemimpinnya, rakyatnya atau keseluruhannya?
Seandainya keseluruhan, berarti letak kesalahannya menurut saya berada pada “kesadaran” manusianya sebagai elemenwujud tegaknya bangsa. Kesadaran yang didefenisikan sebagai suatu keadaan mentalmelalui penalaran dan rasionalitas yang berakibat pada ucapan dan tindakan atau perbuatan5. Yakni kesadaran masyarakat bangsa Indonesia akan pentingnya perannyadalam struktur sistemik sebuah negara. Tidak cukup hanya dengan jiwa nasionalisme karena perlu tindakan untuk itu mewujudkan negara yang ideal untuk kedaulatan dan pemajuan bangsa Indonesia. Sehingga diperlukan sosok pemimpin sejati yang bisa membawa perubahan bangsa Indonesia menjadi lebih baik.