Mohon tunggu...
Yulianri Rizki Yanza
Yulianri Rizki Yanza Mohon Tunggu... Student / Assistant Professor -

PhD Student Of Poznan University of Life Science

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

BER”SUARA”LAH DENGAN PERTIMBANGAN MATANG, WAHAI RAKYAT RIAU!!!

8 April 2014   20:03 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:54 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Pengantar Pemilu 2014, dari Bogor untuk Rakyat Riau)

Yulianri Rizki Yanza*

(Mahasiswa Pascasarjana IPB)

Demokrasi. Satu kata yang benar-benar membawa kita akan nikmatnya rasa kebebasan. Kebebasan yang mengantarkan pada keleluasaan hingga ke segala aspek. Namun kebebasan itu teryatata keterusan hingga “kebablasan”. Bisa jadi membuat kita terbiasa akan kebebasan itu, lalu mengantarkan kita ke arah lupa. Lupa bagaimana meraih kebebasan itu, demokrasi itu.

Indonesia sendiri yang memancangkan tiang “republic” di atas tanah ini bukan tanpa dasar. Republik yang dicetuskan oleh Plato dalam Res Publica nya, yakni suara rakyat adalah suara Tuhan. Perlulah kembali kita masing-masing untuk membuka lembar sejarah yang kian terlupa bahwa kebebasan yang diraih perlu pengorbanan sungguh besar. Yakni darah tertumpah karena perang dimana—mana, sumbangan materiil rakyat dan tenaga yang tiada habis-habisnya untuk sebuah kata “kebebasan”. Rakyatlah yang mutlak berjuang. Walau terpecah secara suku dan budaya tetapi tetap satu untuk menghapus penjajahan di atas tanah air. Itu semangat kebebasan tempo dulu yang diajarkan pada kita sejak kecil (terutama saya sendiri).

Beriring dengan adanya pemilu tahun 2014 yang menentukan nasib dan arah bangsa ke depan, tentunya rakyat lah yang menentukan. Baik proses dan dampaknya. Ya… Dampaknya. Dan ini pula penekanan yang sering dilupakan oleh kita sebagai rakyat untuk mempertimbangkan “dampak” dari apa yang kita pilih. Dampak cenderungdiartikan negatif, namun tentunya punya kecenderungan positif. Selain itu dampak pun selalu berhubungan langsung dengan dimensi waktu. Yakni dampak saat ini, maupun dampak ke depan. Yang diinginkan rakyat saat ini, atau yang diinginkan di masa depan. Sehingga perlu sebagai rakyat kita pertimbangkan dengan sangat matang, dampak seperti apa, dan kapan dampak itu ingin dirasakan, yakni yang diinginkan saat ini atau jauh ke depan. Namun cenderung saya pribadi melihat berdasarkan fenomena saat ini, sebagai rakyat kita cenderung berorientasi tidak jauh ke depan.

Hal ini dapat terlihat dari banyaknya sebagian dari kita yang mendukung partai dan wakil-wakilnya (tentunya yang patuh akan koridor partai dengan segala kepentingan partainya) hingga rela turun-turun ke jalan agar partainya lolos. Wakil-wakil yang rela menghamburkan uang agar bisa duduk di kursi nyaman sambil mengkoarkan kepentingan yang dibawa rakyat, namun hanya tinggal janji. Padahal dari sana bisa kita lihat bahwa ideologi kepartaian yang berjumlah banyak juga mampu memecah budaya suku, maupun ideologi dari masayarakat itu sendiri yang sebelumnya sepaham. Apa tidak bisa didefenisikan bahwa partai-partai yang berjumlah 15 partai itu justru memecah belah struktur pola pikir masyarakat yang sudah tentu berbeda budaya dan suku bangsa??? Apa tidak bisa kita asumsikan bahwa semua partai sama saja, yakni bertujuan memegang tampuk kekuasaan tertinggi??

Lalu siapa yang akan menang, rakyat atau golongan yang memegang kekuasaan, yakni partai????

Tentunya bisa kita asumsikan bahwa apapun partainya, tujuannya adalah tetap kekuasaan walau apapun ideologinya. Dengan memanfaatkan dukungan rakyat yang seolah olah berada di belakang partai-partai ini (walaupun sering sebagai alat semata) dengan lantangnya berani membahasakan bahwa mereka didukung rakyat. Apa benar, wahai rakyat??? Saya tidak yakin jika kita memang memegang penuh ideology partai untuk bangsa. Tapi lebih kepada sebagai alat aspirasinya yang dinamis. Dan tentunya partai-partai memanfaatkan hal itu secara terbuka dan pastinya senang-senang saja didukung oleh rakyat. Tapi apa kemudian bila nanti mereka memegang kekuasaan benar-benar memperdulikan rakyat sekalian?? Sekali lagi Res Publica itu adalah suara rakyat, dan suara rakyat adalah suara Tuhan.

Pertanyaan ini lah yang harus kita camkan sebagai rakyat, berhubung sehari kedepan tertanggal 9 April 2014 wakil-wakil yang kita pilih lah yang akan bertaruh di meja perundingan yang dilegalkan dan didanai oleh rakyat sendiri. Yakni PARLEMEN seperti DPR-DPRD dan DPD. Tentunya secara keseluruhan rakyat memang ingin menang dan bebas atas kuasanya di bangsa sendiri, tetapi rakyat yang mana? Dan apakah para calon wakil rakyat dari partai-partai tertentu itu benar-benar pro rakyat?? Darimana kita bisa tahu sang wakil yang kalian pilih itu pro rakyat???.

Pertanyaan pertanyaan ini lagi yang membebani kepalaku dan hendak kuteriakkan untuk saudara se tanah air ku di Ranah Melayu sana. Berhubung berserakannya manusia yang turut berlomba untuk menjadi Calon Anggota Legislatif (Caleg) di setiap daerah di Indonesia. Semua yang secara kebetulan maupun tidak mengambil kesempatan itu dengan antusias untuk bisa duduk dalam bagian kekuasaan, baik kekuasaan kecil di daerah maupun Negara Kesatuan Indonesia. Tetapi antusias nya si para CALEG-CALEG perlu lah kita sebagai rakyat untuk menilainya lebih dalam. Apa yang para caleg itu inginkan dan dapatkan, dan kenapa wakil-wakil itu ikut dalam kompetisi PEMILU ini yang dalam hitungan jam akan berlangsung.

Hal itu bisa ditilik dari latar belakang si calon dan apa yang telah ia perbuat selama hidup yang memang untuk public, rakyat(pada konteks ideology partai yang tentunya sama, yakni memakmurkan rakyat dan bangsa). Tentunya tak lepas dari status kependidikan dan pengalamannya dalam bersosial bersama rakyat. Penilaian itu tak hanya sebatas uang dan hadiah yang mereka gelontorkan saat berkampanye dengan harapan mencuri suara hati kalian, yang mungkin saja mereka para kandidat wakil-wakil itu dengan sombongnya menganggap rakyat itu bodoh dan mudah tertipu. Apa yang harus dilakukan yakni nilailah mereka secara dalam dan menyeluruh. Mana dari mereka calon yang pantas untuk kalian jagokan. Bukan karena pemberian embel-embel buah tangan, banyaknya selebaran dan spanduk yang dipasang. Apalagi persoalan uang-uang yang ditebar.

Tentunya para caleg-caleg itu kelimpungan dalam pencarian dana kampanye yang tiap calonnya bisa “membongkar” ratusan juta hanya untuk mengharapkan suara rakyat yang belum tentu bisa diharapkan untuk bisa duduk di kursi nyaman” kekuasaan. Kemudian bagaimana menstabilkan kondisi ekonomi yang para wakil-wakil itu keluarkan? Banyak jalan yang bisa ditempuh jika menjadi untuk mengembalikan modal yang hilang sebelumnya untuk bisa mendapatkan suara rakyat di pemilu. Lalu apakah si wakil ini mempedulikan apa yang rakyat inginkan? Kurasa cencerung tidak. Mereka cenderung peduli pada suara rakyat saja, bukan panggilan untuk berjuang akan kesejahteraan rakyat itu sendiri. Jikalaupun memang iya, pun hanya sebagian wakil rakyat saja yang benar-benar sadar bahwa mereka duduk karena rakyat.

Ada pula beberapa calon wakil rakyat ini yang benar-benar memegang teguh untuk tidak membeli suara hati rakyat dengan harapan bahwa kesadaran rakyat untuk memilih wakil-wakilnya di lingkaran kekuasaan benar-benar tanpa embel—embel apapun. Namun berjanji akan menyampaikan suara rakyat itu ke lingkaran kekuasaan. Justru itulah sikap tegas si calon wakil rakyat yang bermain fair dan objektif untuk rakyat memilih orang kepercayaannya, yakni apakah mereka salah satunya yang kita percayakan. Dipilih karena keyakinan kita para rakyat karena merekalah yang layak untuk diperjuangkan atas asas res-publica (yakni suara rakyat). Tentunya pertaruhan yang sangat adil untuk rakyat dalam memperjuangkan hak-haknya melalui wakil-wakil “tanpa modal” materiil. Dan bodohnya kita para rakyat berasumsi bahwa si wakil itu miskin dan tidak punya “modal uang” untuk membawa suara kita para rakyat, sehingga kurang meyakinkan. Padahal menurutku lebih bodoh lagi kita yang tidak memilih si “kawan” yang bergerak tanpa modal ini untuk menyuarakan hak kita. Dalam arti si wakil rakyat dengan ikhlas berjuang, dan rakyat dengan ikhlas menyerahkan kepercayaan sepenuhnya. Disanalah terbentuk suatu “cultural ikhlas berjuang” dalam kebebasan kita para rakyat. Disitulah rasa demokrasi itu terbentuk. Itulah benar-benar demokrasi. Bukan atas asas keuntungan saat kaampanye dan mencalonkan diri semata, namun ke depan hingga memang rakyat itu benar—benar merasakan nikmat surga demokrasi.

Karena banyak masalah di Riau yang kita hadapi, dan saya sampai saat ini selama tujuh tahun hanya bisa membayangkan dari berita dan informasi yang ada dari tanah sunda. Sangat tidak sabar saya untuk pulang ke Riau mengabdi secara nyata, dan melepaskan kewajiban saya sebagai mahasiswa. Banyak yang bisa dan telah saya pelajari di sini dan dirasa sudah sangat lebih dari cukup untuk bekal pulang kemudian hari nanti. Entahlah persoalan si “Atuk” Gubernur yang bermasalah, Bupati yang Korup, Penyelenggara Negara (PNS) yang Tidak Fair dan Nepotisme yang tak terhapus, Kebakaran hutan akibat pembukaan lahan oleh para “Pemodal Besar yang Irit”, juga tentunya mafia-mafia besar yang menundukkan para rakyat dan pemimpinnya. Dan itulah dampak yang saya bilang tadi sebagai akibat apa yang kita pilih sebelumnya.

Tentunya kita telah terbiasa dengan kekayaan sumber daya kita dikuasai, sedangkan kita lebih senang menggelatakkan kaki diatas paha sebagai “orang kaya tanggung” di tanah sendiri sebagai pejabat pemerintah atau pengusaha tanggung. Sedangkan di sisi lain masih banyak diantara mereka yang barang tentu tidak sanggup membeli beras setiap hari sekeluarga. Selain itu si kaya tanggung tentunya tak berdaya di hadapkan kepada si Pemodal besar. Kamuflase itu yang saya rasa bertolak belakang dengan esensi “demokrasi” itu sendiri di ranah melayu. Ranah melayu yang jelas-jelas berdasarkan sejarah, ranah kita merupakan pusat perdagangan dan pusat perkembangan kebudayaan melayu dunia di zaman nusantara dulu.

Saatnya rakyat Riau bijaksana dalam memilih, memilah, dan menimbang keputusan yang tepat untuk menyampaikan suara hati kita. Karena kita yang memimpin suara itu sendiri, untuk diwakilkan ke “meja kekuasaan” akan hak kita para rakyat. Wakil rakyat yang dipilih haruslah benar-benar mempertimbangkan kesejahteraan secara bermasyarakat, bukan golongan sebagian lain yang berkuasa dan punya “amunisi modal” segudang. Karena modal besar itu belum tentu dari rakyat, maupun untuk rakyat keseluruhan. Karena bukan sejahteranya si wakil rakyat yang kita pertaruhkan, namun kebebasan untuk kesejahteraan itulah yang kita pilih yang kemudian membentuk kesejahteraan bersama, kita para rakyat. Dengan begitu kita akan membentuk demokrasi itu sendiri, kebebasan itu sendiri.

Lestari Negeri Melayu!!

Hiduplah Indonesia!!!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun