Kalau Agnes bisa go international dengan musik, kita juga bisa dengan menulis
Iwan Setyawan
Memperingati Bulan Bahasa Nasional, yang jatuh setiap Oktober, Media Aesculapius kembali menggelar Forum Bahasa dan Sastra. Disponsori oleh Kompas dan Mizan, surat kabar kedokteran dan kesehatan nasional ini menyelenggarakan puncak acara di ruang kuliah parasitologi FKUI, 14 Oktober 2012. Kompetisi sastra, fotografi, pameran, seminar, dan bedah buku adalah daftar isi dari FBS 2012. “Diharapkan kompetisi dapat meningkatkan minat masyarakat dalam menghasilkan karya sastra guna melestarikan bahasa dan budaya bangsa,” komentar Tiara Kemala Sari, ketua panitia FBS 2012. Hari itu, Parasitologi kedatangan empat tamu istimewa: Sutardji Calzoum Bachri; Presiden Penyair Indonesia, Yunus Kuntani Aji; penulis Taste Buds, Iwan Setyawan; penulis 9 Summers 10 Autumns, dan Khrisna Pabichara; penulis Sepatu Dahlan. Pakaian dalam dan masakan Padang Sutardji membuka lembaran pertama FBS 2012 dengan musikalisasi puisi, hasil duet harmonikanya dengan "Aku"-nya Chairil Anwar. “Puisi adalah kata-kata tanpa batas,” ujar pria 71 tahun, peraih anugerah sastra Asean ini. “Misalnya saja jika saya menulis 'Saya pergi ke pasar, mencari pakaian dalam', saya bisa saja menyebutnya puisi. Dan bisa saja itu adalah pesan tersembunyi. Pasar yang ramai adalah simbolisme saya akan kehidupan dan pakaian dalam adalah sebuah jiwa.” Jika Presiden Penyair bicara tentang pakaian dalam, maka penulis yang juga calon dokter, Yunus Kuntani Aji lebih “berselera”, dengan bicara tentang masakan Padang. Dari sampul bukunya, Taste Buds, yang menggambarkan kedua tangan dengan 10 piring aneka “rasa” seperti pelayan rumah makan Padang, Yunus dan partner menulisnya, Kinsia Eyusa Merry, menawarkan berbagai cita rasa dalam ceritanya. Sesuai dengan tema FBS tahun ini “Mengaduk rasa dalam cerita”. Penggagas ide cerita film pendek "Toko Hati Kalbu" ini berbagi kiat bagaimana kita bisa menerbitkan sebuah buku dengan mengelaborasinya bersama orang lain. Yang perlu Anda tahu, buku yang berisi dua puluh cerpen ini ditulis oleh dua orang sejauh Jakarta-Kuala Lumpur. Kok bisa? Bagaimana caranya? “Meski hanya bertemu muka dua kali saja,” kata Yunus. “Kami berdiskusi via internet. Dua kepala dalam satu buku malah membuat buku ini semakin kuat, karena kami saling mengisi kekurangan dengan kekuatan karakter masing-masing.” Anak Supir Angkot dan Karyawan Bank Selepas Yunus, di penghujung acara, dua penulis bertolak belakang duduk berhadapan. Yang satu, berjaket hitam semi jas, seorang mantan karyawan bank yang keluar demi turun ke pedalaman.Yang satunya, anak supir angkot yang jadi direktur di AS, santai bercelana pendek layaknya Bob Sadino. Sosok pertama adalah Khrisna Pabichara, yang namanya kian melambung sejak mengikat “Sepatu Dahlan”. Yang kedua adalah Iwan Setyawan, penulis 9 Summers 10 Autums, kisah nyata sang penulis yang kini diangkat ke layar lebar. Keduanya bicara tentang arti menulis, alasan menulis dan kenapa Anda harus menulis, dan mengapa menulis bisa menjadi pilihan hidup. “Kalau ada orang yang bisa hidup dengan menulis kenapa saya tidak?” Ujar Khrisna. “Saya nekat keluar dari Bank, pindah dari Makasar ke Jakarta, lalu aktif di LSM, turun ke pedalaman dan menuliskannya.” Khrisna, yang mengaku sering mengarantina diri untuk menulis ini juga bicara blak-blakan mengenai pendapatan awalnya dalam karir kepenulisannya. “Royalti awal saya hanya dua ratus ribu sampai lima ratus ribu saja. Per enam bulan,” tambahnya. “Setelah saya memiliki beberapa buku, royaltinya delapan juta. Tetap, per enam bulan. Dengan istri dan dua anak, saya bertahan dengan menulis di koran dan menyunting naskah orang lain. Padahal saat saya di bank di Makasar, gaji saya enam juta perbulan. Jadi, untuk penulis muda, yang ingin royalti besar, harus mau royalti rendah dulu. Jika ingin sukses, harus mau berdarah-darah dulu." Serupa dengan Khrisna, Iwan Setyawan juga menyuarakan bahwa menulis bisa jadi pilihan hidup. Bahkan menulis adalah hidup itu sendiri. “Menulis bagi saya adalah meditasi. Menyembuhkan, merapihkan masa lalu, dan membahagiakan diri,” ujar pria asal kota apel, Malang yang sukses di The Big Apple, New York. “Energi dalam ruangan ini (Parasitologi) begitu positif. Keluar dari ruangan ini, berkatalah pada diri sendiri, hidup saya akan lebih baik dari hari ini. I'm gonna be a good writer! Kalau Agnes bisa go international dengan musik, kita juga bisa dengan menulis.” Sampai jumpa di FBS 2013!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H