Mohon tunggu...
Yanuardi Syukur
Yanuardi Syukur Mohon Tunggu... -

Saya sedang belajar menulis. Mengikuti Program Penulisan Esai Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) 2009, dan aktif di Forum Lingkar Pena (FLP) Pusat. Menulis beberapa buku, di antaranya adalah Facebook: Sebelah Surga Sebelah Neraka (Diva Press, 2009). Pendidikan S1 diselesaikan di Departemen Antropologi FISIP Universitas Hasanuddin (1999-2006). Kemudian menyelesaikan S2 pada Kekhususan Politik dan Hubungan Internasional Program Studi Timur Tengah dan Islam (PSTTI) Program Pascasarjana Universitas Indonesia (Agustus 2009-Januari 2010).

Selanjutnya

Tutup

Politik

Diplomasi Moral dalam Islam

24 Januari 2010   01:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:18 864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diplomasi adalah seni dan praktek melakukan negosiasi antara wakil kelompok atau negara. Biasanya mengacu pada diplomasi internasional, pelaksanaan hubungan internasional melalui perantaraan diplomat profesional yang berkaitan dengan masalah perdamaian, perdagangan, perang, ekonomi dan budaya. Biasanya perjanjian internasional dinegosiasikan oleh diplomat sebelum pengesahan oleh politisi nasional.

Menurut Ensiklopedi Wikipedia, dalam arti informal atau arti sosial, diplomasi adalah pekerjaan yang bijaksana untuk memperoleh keuntungan strategis atau untuk mencari solusi yang dapat diterima bersama untuk sebuah tantangan yang sama dengan cara sopan. Dalam diplomasi, ada teknik-teknik yang lazim digunakan sebagai panduan agar berhasil dalam mencapai tujuan.

Dalam Islam, diplomasi yang digunakan adalah Diplomasi Moral. Diplomasi moral bermakna hubungan antar negara, atau kepada manusia lainnya yang dilakukan berdasarkan moral manusia. Penghormatan kepada umat manusia adalah sebuah kebutuhan yang asasi. Manusia membutuhkan penghargaan atas dirinya. Dalam sejarah hidupnya, Rasulullah selalu menggunakan diplomasi moral dalam aktivitasnya.

Diplomasi moral yang dilakukan oleh Rasulullah, tercermin setidaknya dari dua hal di bawah ini:

Pertama, Cara bersikap. Diplomasi sangat ditentukan oleh sikap seorang diplomat. Jika seorang diplomat tidak memiliki sopan santun, maka ia akan gagal dalam negosiasi demi capaian negara atau kelompoknya. Dalam sejarah Islam, ketika kaum muslimin di bawah pimpinan Ja’far bin Abi Thalib berhijrah ke Abbesinia (Ethiopia, Afrika) untuk bertemu dengan Raja Negus beragama Nasrani, kaum muslimin mendapatkan black campaign dari kaum kafir Qurays yang dipimpin oleh Amr bin Ash (ketika itu masih kafir). Namun, setelah negosiasi yang baik tentang bagaimana Islam memandang Isa al-Masih, akhirnya kaum muslimin berhasil untuk mendapatkan perlindungan dari negara tersebut.

Dalam konteks Indonesia, sikap diplomasi yang diperlihatkan oleh IMF kepada Indonesia, memperburuk citra lembaga itu di mata Indonesia. Dalam foto yang dipublikasikan di media massa ketika Soeharto menandatangani "letter of intent" dengan IMF di kediaman Cendana, pada 15 Januari 1998, Direktur Eksekutif IMF, Michel Camdessus menyaksikan momen penandatanganan itu sambil menyilangkan kedua lengan di dada. Sikap menyilangkan dada ini terlihat sebagai sikap yang pongah yang menurut budaya Indonesia tidak diterimta. Sejarah mencatat peristiwa itu sebagai "Soeharto tunduk pada IMF, salah satu pilar kapitalisme global" (Antara News, 15/05/08). Dalam konteks diplomasi, apa yang dilakukan oleh Camdessus tidak berhasil menarik hati Indonesia, yang ada malah resistensi yang berkembang.

Dalam Islam, kerjasama antara satu negara, atau satu lembaga dengan lembaga lainnya perlu berdasarkan pada penghormatan antara sesama. Termasuk dalam hal ini adalah bagaimana sikap seorang diplomat dalam bernegosiasi. Kegagalan dalam bersikap akan membawa pada resistensi dan hal itu akan merugikan negara atau kelompok tersebut.

Diplomasi Iran beberapa tahun belakangan menarik untuk disimak. Walau disebut oleh Amerika sebagai negara yang tergabung dalam poros setan (axis of evil) bersama Iran dan Korea Utara, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad tetap mengunjungi Amerika dan berpidato di PBB dan Universitas Columbia. Dalam pidato tersebut, Nejad mengkritik kebijakan-kebijakan Amerika, termasuk dalam mensponsori terorisme di Timur Tengah. Walau mendapatkan penentangan dalam forum, Nejad tetap menjawab itu dengan argumen rasional. Sikap diplomasi moral yang menggunakan kepala dingin ini perlu diaplikasikan guna mencapai tujuan nasional.

Sikap serius, rasional, dan menggunakan kepala dingin ini diperlukan dalam proses negosiasi, mengajak negara atau orang lain untuk mengikuti Islam. Rasulullah menyambut manusia lain dengan salam dan kedamaian. Beliau tidak mendasarkan diplomasinya pada kebencian, rasial (seperti yang dipertontonkan oleh Israel) dan menghincari percakapan yang menyakiti orang lain.

Kedua, Cara berbicara. Rasulullah menyebutkan bahwa perkataan yang baik adalah sedekah dan orang yang baik adalah yang mampu mengungkapkan kata-katanya dengan rasional dan laksana obat yang memberikan penyembuhan. Afzal Iqbal (2000) menulis:

Kata-kata yang baik akan menyatukan manusia, sebaliknya kata-kata yang buruk hanya akan mengoyak-ngoyak mereka. Kata-kata yang jelek hanya akan melahirkan iri hati, kebencian, perpecahan, dan perselisihan. Kaum muslimin diwajibkan untuk menggunakan kata-kata yang baik dan bijak dalam usaha mencapai tujuannya (hal. 81).

Mengutip dari al-Qur’an surat Ibrahim 24-26, menurut Iqbal, kata-kata yang baik adalah ”laksana pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah memberikan perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk, seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.” Dalam perspektif ayat ini, maka kaum muslim, termasuk dalam diplomasi, dilarang menggunakan perkataan yang tidak senonoh atau tidak beradab.

Suatu waktu, Rasulullah menerima tamu delegasi kaum Yahudi yang mengucapkan salam dengan kata ”Assamu ’Alaikum” yang artinya adalah ”semoga kematian ditimpakan kepada kalian semua.” Perkataan ini sekilas, terdengar mirip dengan kata salam yang biasa diucapkan umat Islam. Namun sesungguhnya jika didengar lebih jeli, vokal dan arti kata tersebut berbeda 180 derajat. Mendengar itu, istri nabi, Aisyah membalas dengan mengatakan, ”semoga kematian segera ditimpakan kepada kalian akan laknat Allah akan menimpamu.” Rasulullah memberikan jawaban yang lebih baik secara diplomatis, yaitu ”Wa’alaikum” yang berarti ”atas kamu.” Dalam konteks cerita ini, terlihat betapa Rasulullah tidak ingin menyakiti hati kaum Yahudi. Namun ketika kaum tersebut mengatakan kata-kata kasar, maka beliau menjawabnya dengan kata-kata yang dikeluarkan oleh kaum Yahudi itu sendiri.

Dalam konteks kekinian, apa yang dilakukan oleh Rasulullah juga bisa kita lihat dari perkataan Presiden Iran Ahmadinejad. Iran yang dituduh sebagai negara teroris, dijawab oleh Ahmadinejad dengan menampilkan bukti bahwa ternyata terorisme sebenarnya adalah Amerika. Lewat bantuan luar negeri yang diberikan kepada Israel tiap tahunnya yang tidak meminta laporan untuk apa dana tersebut digunakan, telah membuktikan kelemahan Amerika atas Israel. Dalam realitanya, kebijakan diskriminasi Israel bisa dikategorikan terhadap terorisme negara (state terrorism). Kasus pembunuhan terhadap warga Palestina sejak 1948, Shabra dan Shatilla, hingga yang terakhir di Gaza adalah bukti bahwa Amerika mendukung rezim terorisme negara.

Dalam salah satu scene dalam film tentang Shalahuddin al-Ayyubi ketika menaklukkan Yerusalem, ketika salah satu pimpinan pasukan Salib berhasil ditangkap, al-Ayyubi mengatakan, ”raja tidak membunuh raja.” Yang ingin ditampilkan oleh al-Ayyubi dalam film tersebut adalah semangat bahwa dalam Islam, tujuan peperangan adalah bukan semata ingin membunuh manusia lainnya. Perang adalah sarana untuk menegakkan agama Allah. Artinya bahwa ketika musuh telah lemah dan menyerah, maka tidak diperbolehkan lagi untuk membunuh musuh. Diplomasi ini juga dipraktekkan oleh Ali bin Abi Thalib ketika beliau berhadapan dengan kekuatan Muawiyah yang ketika itu telah hampir kalah dan mengangkat al-Qur’an. Ali tidak melanjutkan peperangan, akan tetapi bersedia untuk berdialog, walau pada akhirnya sikap ini membuat terpecahnya kelompok Ali menjadi Khawarij. Namun, dalam diplomasi, sikap Ali untuk tidak semata berambisi untuk perang adalah sesuai dengan ajaran Islam.

Cara berbicara bisa dimasukkan pada dua sikap: oral dan tulisan. Oral adalah berbicara lewat mulut, sedangkan tulisan lewat surat. Rasulullah dalam berdakwah kepada raja-raja, tidak menggunakan kata-kata kasar. Ia memulai segala sesuatunya dengan memuji Allah, menyebutkan bahwa ajaran Tauhid adalah yang dibawa olehnya, dan mengajak kepada raja tersebut untuk memeluk agama Islam. Dalam perjanjian antara komunitas Islam, Madinah, dan Yahudi, Rasulullah senantiasa memulai dengan kata “Bismillahirrahmanirrahim.” Setelah kata itu, kemudian dilanjutkan dengan tujuan dari isi surat tersebut. Memulai dengan nama Allah adalah tujuan dari dakwah Islam. Artinya, segala sesuatu yang dilakukan dalam Islam, tidak dibenarkan dikerjakan dengan niat kepada selain Allah.

Dalam surat yang diberikan kepada Raja-raja Himyar, Rasulullah memulai dengan nama Allah, seperti dibawah ini:

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad Rasulullah untuk al-Harits bin Abu Kulal dan Nu’aim, pangeran dari Ru’ain dan Ma’afir serta Hamdan. Saya memuji Allah yang tak ada tuhan selain Dia.

Di akhir surat yang dikirimkan itu, Rasulullah tak lupa memberikan doa agar keselamatan senantiasa bersama para Raja, terutama yang telah memeluk Islam. Ia berkata kepada Raja-raja Himyar di akhir suratnya, ”Semoga rahmat Allah untuk anda semua.” Doa ini bisa disebut sebagai salah satu aplikasi dari kata-kata yang baik kepada manusia lainnya. Perkataan yang baik akan memberikan bekas kepada manusia lainnya. Dalam konteks Indonesia yang umat Islamnya terbesar di dunia, surat-surat kenegaraan tidak mencantumkan seperti yang Rasulullah lakukan, padahal model surat dengan ”Bismillah” dan diakhiri dengan do’a adalah salah satu dakwah dan mengajak kepada negara lain untuk bersama-sama mengikuti ajaran Islam. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun