Sudah sepuluh kamis jasadmu terbaring di antara ratusan ribu nisan di kota kelahiranku.Â
Hari ini aku menjejakkan kaki di tanah kelahiranmu. Bersama putri sulung kita kutelusuri jejakmu di rumah tempat kamu dibesarkan. Sunyi. Sepi.Â
Nasi ayam favoritmu di simpang lima mengisi perutku di penghujung malam. Ada pahit melintas. Hampir membuatku tersedak. Â
Soto ayam yang mengisi perut tak cukup menutup haru. Putra sulung almarhum kakak kandungmu sudah resmi menjadi suami. Tanpa ayah. Tanpa paman.
Siang ini gimbal udang lengkap dengan tahu, sayuran, dan bumbu kacang yang dibeli keponakan seibumu dari warung dekat rumah juga menyisakan getir.
Tiga puluh dua tahun belum cukup membuatku mengenalmu.Â
Hari ini, sahabat senior menyusulmu pulang ke haribaan ilahi. Aku menjadi saksi kebaikan almarhum menemanimu bangkit.Â
Kenangan manis yang tercipta saat putra kita bersaksi bahwa kamu orang baik hadir memupus pahit getir yang sempat mengharu biru.Â
Jejak kebaikanmu ada dalam semua bantuan yang kuterima sejak hari pertama kamu sakit.Â
Hadir dalam beragam karangan bunga duka cita dari sahabat dan teman-teman kita.Â
Hadir dalam kesaksian sahabat dan teman-teman kita tentang kebaikanmu.