Mohon tunggu...
Fatmah Afrianty Gobel
Fatmah Afrianty Gobel Mohon Tunggu... profesional -

Seorang pendidik, peneliti, pengajar dan sekaligus ibu dari tiga anak. Mahasiswa Program Pascasarjana Program Studi S3 Ilmu Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Staf Pengajar FKM Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar. Diluar kampus, tercatat sebagai Pengurus Nahdatul Ulama, Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Sul-Sel dan pendiri Center for Policy Analysis (CEPSIS) Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Insidensi dan Terapi Penyakit Kusta

25 Maret 2011   10:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:27 4589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13010492061203477928

[caption id="attachment_96711" align="alignleft" width="220" caption="Lesi kulit pada paha, salah satu ciri penyakit kusta (gambar: WIkipedia)"][/caption] Penyakit kusta adalah salah satu penyakit yang masih menjadi momok bagi masyarakat. Meski penyakit kusta tidak menyebabkan kematian, namun penderitanya bisa mati karena sanksi sosial berupa tindakan diskrimanasi pengucilan dari masyarakat. Indonesia menduduki peringkat ketiga dunia sebagai penyumbang penderita kusta terbanyak. Meski angka penderita kusta dari tahun ke tahun terus menurun, posisi angkanya 1 berbanding 10 ribu di tiap provinsi. Tercatat angka penderita kusta di Indonesia mencapai 17 ribu orang pada tahun 2009. Data dari Departemen Kesehatan (Depkes)/Kemenkes, secara nasional Indonesia sudah mencapai angka eliminasi kusta pada tahun 2000 lalu. Terdapat sekitar 20.000 kasus baru ditemukan setiap tahun atau sekitar 2 sampai 3 orang setiap jam atau 40 - 80 orang setiap harinya. Masih terdapat 14 provinsi dan 150 kabupaten yang belum mencapai eliminasi dan yang harus lebih intensif dalam pelaksanaan program kusta. Untuk menekan jumlah tersebut, DepKes/Kemenkes akan menggalang program deteksi secara dini terhadap penyakit kusta dan memutus mata rantai penularan serta mencegah terjadinya kecacatan. Depkes juga akan mengadakan pendataan terhadap penderita kusta di daerah-daerah terutama orang-orang yang putus berobat dan memberikan pengobatan secara gratis terhadap para penderita kusta melalui puskesmas di provinsi-provinsi. Epidemiologi Kusta Penyakit kusta adalah jenis penyakit menular yang disebabkan oleh kuman mycobacterium Leprae yang menyerang saraf tepi seseorang sehingga mati rasa. Kuman mycobacterium Leprae yang berada didalam tubuh membutuhkan waktu lama untuk berkembang, bisa mencapai 5 tahun. Penyakit kusta adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernafasan atas, sementara lesi pada kulit adalah tanda yang bisa dilihat dari luar. Ciri-ciri orang yang terinfeksi penyakit kusta adalah adanya bercak putih kemerahan yang mati rasa. Bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin melebar dan banyak kemudian timbul bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada kulit. Muka akan terlihat berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa) dan ada pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus seryta peroneus. Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat. Mycobacterium leprae sebagai kuman penyebab penyakit kusta adalah bakteri yang tahan asam, sejenis bakteri aerobik, gram positif, berbentuk batang dan dikelilingi oleh membrane sel lilin yang merupakan cirri dari mycobacterium. Bakteri sejenis ini dapat dikultur pada laboratorium. Meski sejenis penyakit menular, namun menurut penelitian tidak semua  manusia di dunia yang bisa terinfeksi penyakit kusta. Setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu, tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman mycobacterium leprae menderita kusta. Karena itu ada dugaan, faktor genetika dan faktor gizi berperan dalam penyebaran penyakit kusta. Seseorang yang memiliki riwayat keturunan dan kekurangan gizi pada pola asupan makanan akan berpengaruh terhadap infeksi penularan penyakit kusta. Berdasarkan manifestasi klinis, penyakit kusta dibedakan atas kusta tuberkuloid, kusta lepromatosa (penyakit Hansen multibasiler) dan kusta multibasiler (borderline leprosy). Kusta Tuberkuloid ditandai dengan satu atau lebih hipopigmentasi makula kulit dan bagian yang tidak berasa (anestetik). Sedangkan Kusta Lepormatosa dihubungkan dengan lesi, nodul, plak kulit simetris, dermis kulit yang menipis, dan perkembangan pada mukosa hidung yang menyebabkan penyumbatan hidung (kongesti nasal) dan epistaksis (hidung berdarah) namun pendeteksian terhadap kerusakan saraf sering kali terlambat. Sememntara Kusta Multibasiler, dengan tingkat keparahan yang sedang, adalah tipe yang sering ditemukan. Terdapat lesi kulit yang menyerupai kusta tuberkuloid namun jumlahnya lebih banyak dan tak beraturan; bagian yang besar dapat mengganggu seluruh tungkai, dan gangguan saraf tepi dengan kelemahan dan kehilangan rasa rangsang. Tipe ini tidak stabil dan dapat menjadi seperti kusta lepromatosa atau kusta tuberkuloid (Wikipedia). Penyakit kusta sudah dikenal pada peradaban kuno di China, Mesir dan India sejak 300 sebelum masehi. Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar ke seluruh dunia lewat perpindahan penduduk. Penyakit kusta masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke-4 atau Abad ke-5 yang diduga dibawa oleh orang-orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang. Namun baru pada tahun 1873 bakteri mycobacterium leprae yang menyebabkan penyakit kusta ditemukan pertama kali oleh seorang ilmuwan asal negara Norwegia bernama Gerhard Henrik Armauer Hansen. Sementara bakteri mycobacterium lepromatosis ditemukan oleh Universitas Texas pada tahun 2008 ketika sejenis kusta yang disebut diffuse lepromatous leprosy yang menyebar di Karibia dan Meksiko. Penyakit kusta kadang juga disebut Penyakit Hansen untuk menghargai penemu bakterinya sekaligus untuk menghilangkan stigma negatif dari masyarakat pada penderita kusta yang rawan pengucilan sosial. Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah penderita penyakit kusta mencapai dua sampai tiga juta jiwa yang menderita cacat permanen disebabkan oleh penyakit kusta. Negara dengan jumlah penderita terbesar di dunia adalah India, disusul Brasil dan Myanmar berdasarkan distribusi penyakit kusta pada tahun 2003. Pada tahun 2000, WHO membuat pemeringkatan Negara endemik penderita kusta di seluruh dunia, 70 persen kasus kusta terdapat pada negara India, Myanmar dan Nepal. Sementara pada tahun 2002, WHO menetapkan 90 persen kasus kusta terdapat di negara Brazil, Madagaskar, Tanzania dan Nepal. Hingga tahun 1985, masalah kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat pada 122 negara. Maka pada tahun 1991, sebuah Pertemuan Kesehatan Dunia (WHA) ke-44 di Jenewa menghasilkan resolusi penghapusan penyakit kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2000. WHA memberikan mandat kepada WHO untuk mengembangkan strategi penghapusan kusta. Pada tahun 1995, WHO memberikan paket obat terapi kusta secara gratis pada negara endemik, melalui Kementrian Kesehatan masing-masing negara. Berdasarkan Weekly Epidemiological Record yang dilaporkan oleh WHO pada 115 negara dan teritori pada 2006 terdapat 219.826 kasus kusta. Tahun sebelumnya adalah 296.499 kasus. Penemuan secara global terhadap kasus baru menunjukkan penurunan. Pencegahan dan Pengobatan Pada akhir 1940-an, pengobatan penyakit kusta ditemukan dengan menggunakan dapson dan derivatnya. Namun lambat laun, bakteri mycobacterium leprae menjadi kebal terhadap dapson secara bertahap karena penyakit kusta tetap menyebar karena dapson hanyalah obat bakterisidal (pembasmi bakteri) yang lemah terhadap mycobacterium leprae. Penggunaan tunggal dapson hanya sampai pada tahun 1960-an karena populasi bakteri menjadia kebal. Pada decade 1960an dan 1970an ditemukan klofazimin dan rifampisin yang dianggap lebih baik dari dapson. Kemudian pada awal dekade 1980-an, ditemukan pengobatan dengan cara multiobat (Multidrug Therapy) yang terbukti kembali bisa mengerem penyebaran penyakit kusta. Pengobatan penyakit kusta dapat dilakukan dengan Multidrug Therapy (MDT) yang dapat menyembuhkan. Obat kusta bisa diperoleh dengan gratis di puskesmas terdekat. Keterlambatan seseorang penderita penyakit kusta dalam berobat dapat menyebabkan kecacatan. Kecacatan juga bisa terjadi apabila pengobatan tidak sempurna sehingga pengobatan tidak tuntas. Namun apabila segera meminum obat maka kecacatan dapat dihindari akibat saraf tepi yang mati rasa. Terapi multiobat dan kombinasi tiga obat (rifampisin, klofazimin, dan dapson) direkomendasi oleh Panitia Ahli WHO pertama kali pada tahun 1981. Kelompok Kerja WHO merekomendasikan dua tipe terapi multiobat standar. Pertama adalah pengobatan selama 24 bulan untuk kusta lepromatosa dengan rifampisin, klofazimin, dan dapson. Kedua adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta tuberkuloid dengan rifampisin dan dapson. Adalah Shantaram Yawalkar dan rekannya yang merumuskan terapi kombinasi dengan rifampisin dan dapson, untuk menyiasati kekebalan bakteri. Guna promosi kesehatan dalam pencegahan penyebaran penyakit kusta setiap tahun dilakukan kegiatan pada hari kusta sedunia, 25 Januari. Tahun 2011 dicanangkan sebagai tahun pencegahan kecacatan berupa mencegah kecacatan kusta dengan berobat secara dini, memberdayakan orang yang pernah mengalami kusta untuk dapat hidup mandiri dan mendapatkan keyakinan dan stop diskriminasi dan stigmasi terhadap orang yang pernah mengalami kusta dan keluarganya. Kegiatan promosi kesehatan untuk menggalang komitmen para pengambil kebijakan, petugas di tim pelayanan kesehatan dan semua elemen masyarakat dalam rangka pengendalian penyakit kusta dan pencegahan kecacatan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun