Mohon tunggu...
Fatmah Afrianty Gobel
Fatmah Afrianty Gobel Mohon Tunggu... profesional -

Seorang pendidik, peneliti, pengajar dan sekaligus ibu dari tiga anak. Mahasiswa Program Pascasarjana Program Studi S3 Ilmu Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Staf Pengajar FKM Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar. Diluar kampus, tercatat sebagai Pengurus Nahdatul Ulama, Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Sul-Sel dan pendiri Center for Policy Analysis (CEPSIS) Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Ancaman Virus Film Cowboys in Paradise

21 Mei 2010   07:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:04 1004
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

[caption id="attachment_148353" align="alignright" width="300" caption="Illustrasi"][/caption]

Film dokumenter berjudul “Cowboys in Paradise” sedang hangat diperbincangkan saat ini setelah film tersebut di upload ke situs Youtube. Film ini disutradarai oleh Amit Virmani, seorang warga negara Singapura.Film yang mengangkat cerita tentang fenomena gigolo Bali sebenarnya sudah lama beredar sejak 2009 silam. Film ini mengungkap realitas kisah kehidupan para gigolo menjajakan seks untuk para turis yang datang ke Kuta, Bali.

Reaksi penolakan spontan berasal dari pemerintah Provinsi Bali dan tokoh masyarakat adat Bali setelah media massa secara gencar memberitakannya.Pemerintah dan masyarakat adat Bali itu menegasikan realitas bahwa Kuta sebagai surga wisata seks bagi ribuan turis wanita. Pihak Satgas Pantai Kuta ikut-ikutan aktifmelakukan razia dan sweeping terhadap orang-orang yang diduga sebagai gigolo di Kuta, utamanya pada para beach boy.

Sebuah media online memberitakan bahwa para gigolo di Pantai Kuta, Bali memiliki tarif sendiri dalam melayani tamu-tamunya. Jika pada tahun 1997, gigolo menarik tarif Rp 500 ribu per pelanggan, maka tahun 2010 ini diperkirakan sudah mencapai Rp 1 juta perhari. Tarif tersebut belum termasuk makan seharian, belanja, jalan-jalan, beli pakaian, kacamata atau serba-serbi pernik di Bali (Vivanews.com).

Penyakit Menular Seksual

Realitas gigolo dan praktek prostitusi illegal lainnyadalam industri pariwisata Baliberpotensi sebagai sumber penularan penyakit menular seksual. Salah satu yang termasuk dalam kategori penyakit menular seksual adalah HIV (Human Immundeficiency Virus) yang dapat menyebabkan AIDS. Balisaat iniberada pada peringkat keempat nasional angka penderita HIV/AIDS.

Pola penyebaran penyakit menular seksual ditentukan oleh tiga faktor yakni agent (penyebab penyakit), host (induk semang/faktor pejamu) dan lingkungan, hal ini sering juga disebut sebagai trias epidemiologi. Dalam konteks HIV/AIDS di Bali, maka para gigolo dan pekerja seks lainnya dapat disebut sebagai host atau faktor pejamu.

Menurut Pandu Riono, seorang ahli epidemiologi HIV/AIDS dari UCLA, HIV bukan jenis virus yang mudah pindah dari satu orang ke orang lainnya. Penularan hanya dimungkinkan bila ada kegiatan antar-individu yang memungkinkan terjadinya pertukaran cairan tubuh. Salah satunya adalah kegiatan seks yang memungkinan terjadinya pertukaran cairan kelamin dari salah satu pasangan yang sudah mengandung HIV dalam tubuhnya. Perpindahan semakin dipermudah bila mempunyai banyak pasangan seks yang berbeda dan juga adanya penyakit kelamin.

Ada dua cara penularan utama yang mendorong percepatan epidemi HIV di Indonesia: kegiatan seks berisiko dan menyuntik bareng pada para pecandu. Namun, konsep ini tidak cukup untuk memperkirakan besar masalah epidemi dan juga perkiraan epidemi HIV/AIDS di masa mendatang di satu wilayah. Yang dibutuhkan adalah informasi tentang orang-orang yang berperilaku yang berisiko tinggi terhadap HIV. Konsep hubungan antar-orang dalam pola transmisi virus dapat membantu perkiraan kecepatan epidemi di suatu wilayah. Dalam hal ini, konsep jaringan seksual (sexual network) bisa memberi gambaran. Dinamika penularan HIV sangat dipengaruhi perilaku seksual dengan banyak pasangan seks yang berbeda dalam satu periode yang sama (concurrent sexual partnerships). Perpindahan virus menjadi mudah karena ada banyak orang berbeda yang tidak saling kenal tetapi terhubung oleh jalur perilaku seksual. Bayangkan seorang perempuan yang berstatus kawin di kota A mendapat kiriman virus dari perempuan yang tak dikenal dan tinggal di kota B yang kebetulan melakukan kontak seksual dengan suaminya (Riono, 2004).

Bali Endemik AIDS

Bali tercatat dalam sejarah kesehatan masyarakat Indonesia sebagai lokasi ditemukannya pertama kali virus HIV pada tahun 1987 di Denpasar. Berdasarkan data dariKomisi Penanggulangan AIDS Daerah Bali, pada bulan November 2004 baru sebanyak 525 orang di Bali positif HIV/AIDS. Padahal tiga bulan sebelumnya hanya 517 orang pengidap HIV/AIDS. Kasus terbaru ODHA (orang dengan HIV/AIDS)rata-rata diidap oleh kelompok umur produktif antara 20-29 tahun. Padahal Bali telah menjadi target organisasi-organisasi internasional sebagai lokasi kampanye pencegahan penularan HIV, misalnya dengan digelarnya acara Dance 4 Live yakni tarian massal untuk kampanye peduli AIDS, dan digelar serentak di Afrika, Eropa, dan Asia. Untuk Asia, penyelenggaraannya dilakukan di Lapangan Puputan Renon, Denpasar.

Kemudian bulan Agustus 2007 data KPA Bali, pengidap HIV/AIDS di Provinsi Bali diperkirakan terus meningkat. Dari sekitar 700 PSK yang terdata di seluruh Bali, sekitar30 persen mengidap HIV/AIDS. Penderita HIV/AIDS di Bali semakin meningkat setiap bulan, dari 1429 kasus yang muncul di bulan April, meningkat menjadi 1508 di bulan Agustus 2007.

Sementara data 2009, pengidap HIV/AIDS meningkat tajam mencapai 3.047 orang yang terpantau dan telah tersebar di seluruh kabupaten/kota se-Bali. Sekitar 66 persen lagi-lagi ditularkan oleh pekerja seks komersial yang bekerja di kafe-kafe hingga ke pedesaan. Penyebaran HIV hingga pedesaan karena tempat hiburan malam seperti cafe remang-remang kini juga telah merambah daerah pedesaan sehingga menyebabkan meningkatnya jumlah kasus HIV/AIDS di daerah-daerah pedesaan.KPA Bali memperkirakan bertambahnya pengidap HIV/AIDS di Bali berasal dari kalangan anak dan remaja. Dari 3.047 kasus, sekitar 47 persen merupakan orang berusia 20-29 tahun dan dua persen di antaranya berusia 15-20 tahun. Peningkatan drastis ini menunjukkan bahwa Bali bisa disebut daerah endemik AIDS yang memerlukan perhatian secara seksama.

Momentum The 9th International Congress on AIDS in Asia and the Pacific (ICAAP) yang berlangsung pada tanggal 9 - 13 Agustus 2009 silam di Bali seyogyanya ikut mengkampanyekan kewaspadaan bahaya laten HIV/AIDS di Bali. Sehingga bukan hanya Bali sebagai tempat penyelenggaraan secara seremonial, tetapi secara substantif ikut membangun kesadaran dan kepedulian masyarakat Bali atas perilaku free sex sebagai faktor utama terjangkitnya virus HIV.

Peningkatan pengidap HIV/AIDS di Bali memerlukan kerja keras pemerintah dan stakeholder untuk penanggulangannya. Salah satu program yang sedang berjalan di Bali adalah program mitigasi bagi anak-anak korban langsung maupun yang orang tua mereka tertular HIV/AIDS dengan tujuan menghindarkan mereka dari stigma dan diskriminasi.

Program mitigasi yang telah dijalankan KPA Bali adalah pada anak yatim-piatu yang orang tuanya meninggal akibat infeksi HIV/AIDS untuk mencegah agaranak-anak tersebut tidak menjadi korban untuk kedua kalinya. KPA Bali juga menyusun program pengadaan klinik konseling dan tes (VCT) HIV/AIDS. Targetnya, terdapat 50 persen klinik VCT dari total 115 Puskesmas di Bali pada tiga tahun mendatang.

Melihat data KPAD Bali yang menyebutkan bahwa jumlah kasus HIV/AIDS di Bali hingga Agustus 2009 mencapai 3000 kasus, dimana 66 Persen diantaranya tertular melalui hubungan seksual dan 23 persen penularannya akibat penggunaan jarum suntik narkoba secara bersama-sama. Maka program pencegahan selain program mitigasi dan program pengadaan klinik konseling perlu dibarengi dengan pendekatan religiusitas dan pendekatan adat.

Pendekatan agama yang dilakukan selama ini belumlah maksimal karena masih berorientasi pada individu, bukan kelembagaan. Misalnya, kampanye bahaya HIV/AIDS yang dilakukan Tokoh Ashram Gandhi Puri di Bali, BR Indra Udayana yang sering berkeliling Pulau Dewata untuk mengampanyekan pengetahuan mengenai bahaya HIV/AIDS ke masyarakat. Kegiatan sosial tersebut dilakukan Indra Udayana, tak lain karena posisinya sebagai Koordinator Agama, Adat dan Budaya pada Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Bali. Ashram adalah lembaga pendidikan nonformal pencetak intelektual Hindu.

Banyaknya penolakan atas praktek gigolo Pantai Kuta dalam film Cowboys in Paradise menandakan bahwa sebagian besar masyarakat Bali masih memegang teguh adat ketimuran yang pantang berperilaku seks bebas. Hal ini dapat menjadi modal sosial (social capital) untuk bangkit melawan arus kuat seks bebas dibalik arus turisme ke Bali.Dan bila pendekatan agama dan adat yang ingin dikembangkan, maka saatnya mengkampanyekan bahaya HIV/AIDS dengan mengatakan “Jangan sekali-kali mendekati zina, apalagi melakukannya!”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun